Selasa, 10 November 2015

Go to Final MITI AWARD Se-Jateng dan DIY

KOALISI MAHASISWA, PERGURUAN TINGGI, PEMERINTAH, DAN PENGUSAHA UNTUK MENGURANGI PENGANGGURAN INTELEKTUAL DI INDONESIA
Oleh : Etika Suryandari
(Mahasiswi Matematika Fakultas MIPA UNS)

Fenomena Pengangguran Intelektual di Indonesia
Problem signifikan ketenagakerjaan di Indonesia saat ini adalah besarnya angka pengangguran intelektual. Mereka adalah sekelompok orang yang mempunyai kualifikasi lulusan pendidikan yang cukup, namun masih belum memiliki pekerjaan. Pada tahun 2008, sebanyak 4,5 juta dari 9,4 juta orang pengangguran berasal dari lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan perguruan tinggi. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran intelektual. Sebenarnya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja. Jumlah pengangguran intelektual meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi pengangguran intelektual dari total angka pengangguran pada tahun 1994 sebesar 17 %, pada tahun 2004 menjadi 26 %, dan pada tahun 2008 menjadi 50,3 %. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2007 mencatat pengangguran sebanyak 10.547.900 orang (9,75%), sedangkan pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02%. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007, sementara itu pengangguran intelektual mencapai 1.461.000 orang (15.5%) atau meningkat 1,02% dari tahun 2007.
Data BPS di atas menjadi cermin bagi kita bahwa banyak lulusan dari perguruan tinggi yang tidak memiliki kualitas, kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Dunia usaha di tengah persaingan kompetitif di era globalisasi semakin mensyaratkan karakter-karakter pekerja yang siap bertarung dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Di sisi lain, perguruan tinggi juga mengalami permasalahan yang tak jauh berbeda. Jika dunia usaha kesulitan mencari tenaga kerja siap pakai, perguruan tinggi kesulitan untuk menghasilkan lulusan yang dapat dengan mudah diserap pasar kerja. Pembelajaran di bangku kuliah masih terlalu terpaku pada materi, padahal yang dibutuhkan pasar kerja adalah orang-orang yang tidak hanya mahir dalam tataran teoritis.


Missmatch Pendidikan
Berdasarkan data di atas, dapat ditarik benang merah bahwa salah satu penyebab makin meningkatnya jumlah pengangguran intelektual di Indonesia adalah missmatch­-nya pendidikan di Indonesia, dalam arti tidak bertemunya dunia kerja dan dunia pendidikan. Masalah pendidikan yang serius dihadapi bangsa ini adalah kesiapan lulusan terdidik dalam menghadapi lapangan pekerjaan. Kurang selarasnya perencanaan pembangunan pendidikan dan perkembangan lapangan kerja menyebabkan lulusan institusi pendidikan tidak terserap ke lapangan kerja. Lemahnya perencanaan pendidikan dapat dilihat dari ketidaksesuaian input dan output lulusan lembaga pendidikan. Telah terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara keluaran, baik jumlah maupun kompetensi. Ada faktor-faktor lain pula yang menyebabkan besarnya angka pengangguran terdidik, antara lain pemilihan jenis pekerjaan yang diminati, dan kurang sesuainya kualifikasi angkatan kerja terdidik dengan kebutuhan penyedia lapangan pekerjaan.

Implikasi Pengangguran Intelektual
Pengangguran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tengah dilakukan Indonesia saat ini. Semakin besarnya angka pengangguran intelektual secara potensial dapat menyebabkan dampak yaitu : menimbulkan masalah sosial akibat pengangguran, pemborosan sumber daya pendidikan, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan, serta menurunkan tingkat pendapatan masyarakat. Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial, banyak orang (baca : pengangguran) yang kemudian menghalalkan segala cara demi mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah dapat diraihnya lapangan kerja yang didambakan. Setidaknya, setelah lulus sekolah mereka dapat bekerja. Keterbatasan lapangan pekerjaan berpotensi pada tidak tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja. Oleh karena itu, masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan yang signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.

Koalisi sebagai Solusi
Untuk menekan laju pertambahan pengangguran intelektual di Indonesia diperlukan peran serta dari semua elemen, terutama elemen yang berkaitan langsung dengan masalah ini, yakni mahasiswa (sebagai subjek), perguruan tinggi (sebagai sarana), pemerintah (sebagai mediator), dan pengusaha (sebagai fasilitator).

1. Mahasiswa
Mahasiswa adalah status yang tidak semua orang berkesempatan menyandang predikat tersebut. Mahasiswa bisa dikatakan tulang punggung rakyat untuk menggantungkan harapannya. Pasalnya, sebagai kaum intelektual, diharapkan mahasiswa saat kembali ke masyarakat benar-benar bisa memberikan kontribusinya pada masyarakat. Oleh karena itu, saat masih berstatus sebagai mahasiswa, perlu dipersiapkan bekal yang nantinya akan bisa diaplikasikan sebagai wujud kontribusinya tersebut. Mahasiswa memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan berada pada usia yang strategis untuk membuat suatu gebrakan perubahan. Mahasiswa berperan sebagai agent of change (agen perubahan), social controller (pengontrol sosial), dan iron stock (cadangan keras) bagi bangsa ini. Berdasarkan fenomena memprihatinkan yang ditulis di atas, kita dapat melihat bahwa tuntutan terhadap mahasiswa dan lulusan mahasiswa semakin besar. Tiga fungsi mahasiswa sebagai agent of change, social controller, dan iron stock harus dioptimalkan agar peran-peran itu berjalan secara seimbang.

Mahasiswa harus menyadari bahwa ia adalah kekuatan yang mampu mengokohkan daya saing dan martabat bangsa di dunia. Mahasiswa menyandang peran sebagai kaum intelektual yang mampu membuat perubahan dengan kompetensi keilmuan yang ia miliki. Mahasiswa adalah bagian dari solusi (problem solver). Ilmu yang ditekuni mahasiswa di kampus adalah ilmu yang digunakan untuk berkontribusi pada masyarakat, bukan ilmu yang semata hanya digunakan untuk mencari pekerjaan saja. Bangsa membutuhkan mahasiswa untuk masa depan yang lebih baik yakni sebagai bangsa yang bermartabat di dunia. Kegiatan-kegiatan kampus yang bersifat peningkatan kompetensi keilmuan perlu ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan semacam ini justru akan semakin menunjang peran mahasiswa sebagai agen perubah dan pengontrol sosial (masyarakat), karena kegiatan ini akan sangat meningkatkan soft skill mahasiswa. Saat ini sudah bukan menjadi alasan bagi para mahasiswa untuk lulus lama dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rendah hanya karena aktif berorganisasi, atau juga bukan zamannya lagi mahasiswa yang sekedar lulus cepat dengan IPK tinggi tanpa memiliki soft skill yang memadai. Bangsa ini membutuhkan lulusan-lulusan yang kompeten di bidang ilmunya serta siap berkontribusi nyata bagi masyarakat.

Sasarannya jelas, mahasiswa harus membekali dan dibekali senjata berupa keahlian atau keterampilan khusus guna menembus lapisan dunia kerja yang makin ketat di tengah kondisi perekonomian bangsa yang tidak menentu. Sadar atau tidak makin hari persaingan makin sengit. Bukan hanya dalam dunia usaha maupun bisnis, persaingan juga terjadi antar-manusia dalam mencari kerja atau kehidupan yang lebih baik. Apalagi di tengah era globalisasi dan ledakan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat persaingan tersebut makin sengit. Diperlukan keseriusan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang bisa beradaptasi dengan lingkungan, bisa mengatasi problem dan melihat ke masa depan serta memprediksi arah kebutuhan di masa depan. Oleh karena itu, hendaknya mahasiswa juga harus mengubah paradigma berpikirnya bahwa setelah lulus, bukan hanya sebagai pencari kerja (job seeker), tapi juga harus mampu menjadi pencipta kerja (job maker). Salah satu caranya dengan menjadi seorang wirausaha (entrepreneur).

2. Perguruan TinggiPerubahan dan perbaikan konsep pendidikan merupakan sebuah keniscayaan bagi lembaga pendidikan tinggi. Tidak terkecuali yang berstatus negeri maupun swasta, perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan menjadi tolak ukur agar perguruan tinggi tetap diminati para calon mahasiswa. Menghadapi perubahan zaman sudah barang tentu apabila konsep dan orientasi pendidikan tinggi juga harus mampu menyesuaikan dengan realitas yang ada. Tawaran konsep akan tercermin dari cara-cara perekrutan calon mahasiswa, model pengajaran dan pendidikan hingga kualitas lulusan yang terserap dalam dunia kerja. Pada zaman modern seperti ini, sinergisitas ketiga hal tersebut akan membuat perguruan tinggi dengan sendirinya dicari para calon mahasiswa, tidak peduli swasta ataupun negeri. Sudah seharusnya apabila lulusan dari universitas mampu memberikan nilai tambah bagi pembangunan nasional. 

Dengan bekal keilmuan yang diperoleh dari bangku kuliah mestinya mereka dapat menjadi solusi dari permasalahan bangsa, bukan menjadi beban bagi bangsa. Membalikkan kondisi saat ini, memang bukan pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan. Perguruan tinggi tentu mempunyai tanggung jawab besar, tetapi sepantasnya beban itu harus ditanggung perguruan tinggi.

Perguruan tinggi harus mampu menciptakan sistem pendidikan dan pengajaran yang mengkondisikan mahasiswa untuk cepat lulus dengan nilai yang baik tanpa kehilangan makna mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi harus benar-benar bisa menjadi sarana bagi mahasiswa yang telah lulus untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keilmuan yang dipelajari dan digeluti selama menjadi mahasiswa. Sebab, selama ini sudah banyak sekali mahasiswa yang mendapat pekerjaan tetapi tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Oleh karena itu, perguruan tinggi harus mampu mengembangkan jaringan dengan perusahaan dalam hal membangun keterkaitan dan kesepadanan antara kebutuhan pasar kerja dan lulusan yang siap kerja.

Sehubungan dengan fenomena pengangguran tersebut, maka perlu ada komitmen khusus kebijakan pendidikan yang disusun untuk menjawab kebutuhan pasar kerja. Dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja menjadi mutlak dengan mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja. Pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas dan pada akhirnya mengurangi pengangguran terdidik.

Konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan perlu didefinisikan dengan memasukkan pendekatan yang berbasis pada pasar kerja tadi. Jenis-jenis pendidikan kejuruan dan keterampilan kerja harus didasarkan pada analisis kebutuhan peluang-peluang kerja yang ada, dan yang diproyeksikan akan besar kebutuhannya. Sebagai negara berkembang yang dituntut mampu berkompetisi dalam era globalisasi, Indonesia sebenarnya menyadari bahwa pembangunan sumber daya manusia merupakan pemeran utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang menempati posisi sentral dalam pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi selama ini diyakini mampu menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing. Oleh sebab itu, ironis jika lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran bahkan angka absolutnya cenderung meningkat per tahun.

Kegagalan sistem pendidikan perguruan tinggi di Indonesia menuju pendidikan yang berbasis pada pasar kerja mengindikasikan belum adanya keterkaitan pembangunan keberlanjutan dalam pemberdayaan kaum muda intelektual sebagai sumber daya manusia yang produktif. Oleh sebab itu diperlukan adanya sinergisitas antara pemerintah dan perguruan tinggi. Dalam era otonomi daerah, hubungan ini dapat diaplikasikan melalui kerja sama dalam berbagai aspek antara perguruan tinggi dengan dinas pemerintah dan instansi terkait baik negeri maupun swasta di daerah yang bersangkutan. Perguruan tinggi unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan baik teoritis maupun praktis, pemerintah berperan dalam kebijakan publik, sedangkan swasta berperan dalam pemasaran produk dan dukungan finansial. Oleh karena itu, Perguruan tinggi harus mengembangkan sistem kurikulum yang mampu menumbuhkan minat civitas akademika (dosen dan mahasiswa) untuk meningkatkan kompetensi kritis mereka. Kondisi ini diperlukan untuk menciptakan intelektual-intelektual yang potensial dan kompetitif.

3. Pemerintah
Telah disebutkan sebelumnya bahwa perguruan tinggi harus mengembangkan sistem kurikulum yang mampu menumbuhkan minat civitas akademika untuk meningkatkan kompetensi kritis mereka. Pemerintah melalui dinas-dinas harus menyadari peran vital mereka sebagai basis transformasi pengetahuan langsung terhadap masyarakat. Selama ini dinas-dinas cenderung tidak produktif dan hanya berkutat dalam persoalan-persoalan yang sifatnya administratif. Dinas-dinas bahkan tidak memiliki kompetensi yang jelas dalam mengembangkan bidang mereka. Pemerintah tentu juga harus berupaya menemukan solusi bagi para pengangguran intelektual ini.

Salah satu dukungan pemerintah adalah melalui akreditasi pendidikan nonformal untuk melahirkan output yang berkualitas. Pemerintah mendukung dan mengajak lembaga pendidikan nonformal untuk berpartisipasi aktif mengurangi pengangguran di Indonesia karena pola pendekatan pendidikan yang digunakan terbukti lebih membumi, kreatif, mampu menumbuhkan semangat kewirausahaan sehingga mampu menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian khusus (skill) dan kompeten dalam menjawab tantangan zaman dunia usaha dengan lebih kreatif.

Maka, seiring dengan laju perkembangan zaman, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta realitas pengangguran yang berasal dari perguruan tinggi, intervensi pemerintah dengan kebijakan tentu adalah jalan terbaik. Artinya, dalam membangun keterkaitan dalam dunia kerja, peran pemerintah adalah sebagai mediator bertemunya perguruan tinggi dengan perusahaan.

4. PengusahaPengusaha dan perusahaan sebagai penampung lulusan juga mempunyai peran yang tak kalah penting dalam menekan laju pengangguran intelektual di negeri ini. Pengusaha juga seharusnya berpartisipasi aktif dalam membangun kemitraan dengan perguruan tinggi agar input yang ada di perusahaannya adalah benar-benar input yang kompeten dan memiliki intelektualitas (terdidik). Pengusaha juga bisa berperan dalam memberikan stimulan pada mahasiswa agar mereka lebih terbuka pikirannya (open minded) bahwa kelak ketika sudah tidak berstatus sebagai mahasiswa, mereka bisa berperan sebagai pengusaha yang mampu membuka peluang kerja bagi orang lain.

Berdasarkan uraian tentang peran masing-masing elemen yang berpengaruh terhadap pengangguran intelektual di Indonesia, diperlukan koalisi atau sinergisitas antara keempat elemen tersebut sehingga dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal di tengah kompetisi global.

Koalisi antara dunia usaha dan perguruan tinggi akan menjawab bagaimana kebutuhan pasar tenaga kerja bisa sinergis dengan lulusan perguruan tinggi. Kerja sama yang saling menguntungkan ini pun tidak hanya bersifat reaktif, namun harus menyentuh ranah-ranah strategis, seperti penyesuaian kurikulum yang di dalamnya lebih menekankan pada bagaimana membentuk karakter kreatif dan inovatif, juga pembiayaan riset-riset penelitian oleh dunia usaha, sampai pemberian kesempatan untuk magang dan membuat kegiatan-kegiatan yang bisa mendukung kebutuhan masing-masing pihak. Pendidikan kewirausahaan dan aplikasinya juga perlu diterapkan dalam kurikulum di lingkungan perguruan tinggi karena menumbuhkan semangat kewirausahaan tidak dapat dibentuk secara instan, melainkan ada ruang proses internalisasi nilai-nilai yang kelak akan menjadi karakter seseorang. Pemerintah saat ini juga sudah mewacanakan kerja sama tripartit antara dunia usaha, perguruan tinggi, dan pemerintah. Pemetaan kebutuhan pasar kerja yang dilakukan pemerintah juga akan menjadi rekomendasi penting bagi perguruan tinggi untuk tidak buta terhadap apa yang diinginkan oleh pasar tenaga kerja saat ini.

Pengurangan angka pengangguran terdidik hanya bisa diwujudkan jika ada komitmen yang kuat dari masing-masing pihak untuk bersinergi dalam mendukung pembangunan bangsa. Kerja sama semua elemen dalam bingkai menuju pembangunan yang lebih baik harus kita mulai sekarang juga. Jika sinergisitas ini dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan, maka beberapa manfaat yang dapat diraih antara lain : perguruan tinggi akan mampu menciptakan manusia-manusia produktif, kreatif, dan berjiwa entrepreneurship sehingga pengangguran lulusan perguruan tinggi dapat ditekan seminimal mungkin serta munculnya para lulusan berkompeten yang dapat menjadi staf ahli bagi pemerintah maupun instansi swasta untuk mengembangkan keilmuannya. Akhirnya, dengan adanya koalisi antara mahasiswa (sebagai subjek), perguruan tinggi (sebagai sarana), pemerintah (sebagai mediator), dan pengusaha (sebagai fasilitator) dengan komitmen bersama, maka besar harapannya pengangguran intelektual di Indonesia semakin terkikis dan terwujudlah Indonesia menjadi bangsa yang cerdas, bermoral, dan bermartabat.

Tulisan ini telah mengantarkanku menuju FINAL MITI-AWARD se-JATENG-DIY bulan Juni tahun 2009!!!

(Tulisan ini diposting pada bulan Juni 2009 di blog sebelumnya)
Aisya Avicenna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna