Tuhan, aku harap kau punya waktu beberapa menit untukku. Aku punya beberapa permohonan pada-Mu.
Pada dasarnya, Tuhan, aku mohon bantuan-Mu agar aku dapat menjadi
seorang penulis yang baik. Sebagai awal, bantu aku agar tidak
terus-menerus membandingkan diriku dengan penulis-penulis lain. Aku bisa
hancur kalau terus-menerus melakukan hal seperti ini: Aku adalah
penulis yang lebih baik dari si Alan, lalu kenapa aku tak bisa sukses
seperti dia? Kenapa tulisan-tulisanku tak bisa diangkat ke layar kaca?
Kenapa si Barry yang mendapat perhatian lebih dari penerbit, dan bukan
aku? Apa sih hebatnya si Carol sehingga bisa-bisanya dia mendapat ulasan
sampai dua halaman di majalah New Yorker? Setiap kali aku memutar tv,
yang muncul malah wajah si Dan di setiap talk show. Apa sih yang bikin
dia spesial? Aku juga menulis cerita yang sama seperti mereka, tapi
kenapa sih tulisanku bolak-balik ditolak penerbit?
Di sisi lain, aku takkan mungkin menjadi penulis seperti Frank yang bisa
memakai pengalaman pribadinya dalam tulisan-tulisannya dengan begitu
jujur. Dan si Gloria, dia punya ketajaman mata seorang seniman.
Kalimat-kalimatnya begitu deskriptif dan nyata sehingga aku sadar akan
keterbatasanku. Si Howard juga, dia sangat pro, tulisan yang
kurampungkan sebulan penuh, cuma diselesaikannya dalam sehari dan dengan
santai pula. Tuhan, bantu aku untuk tidak memikirkan kompetisi dengan
penulis lain. Kesuksesan mereka tidak ada hubungannya dengan diriku.
Kami punya cerita masing-masing. Kami punya gaya penulisan
masing-masing. Kami memiliki karir masing-masing. Semakin sering aku
membanding-bandingkan diriku dengan penulis lain, semakin sedikit energi
yang bisa kupakai untuk menghasilkan karya tulis yang baik. Akhirnya
aku cuma mengeluh akan kemampuan dan tulisan-tulisanku, dan hal ini
hanya akan menghancurkan diriku sendiri.
Flannery O’Conner bilang bahwa setiap orang yang berhasil melewati masa
kecilnya memiliki bahan untuk menulis sepanjang hidupnya. Aku percaya
akan hal ini, Tuhan. Aku percaya bahwa setiap insan yang memiliki hasrat
menulis fiksi, di dalam dirinya masing-masing tertanam kisah-kisah yang
tidak akan pernah habis untuk dituliskan.
Bantu aku, Tuhan, untuk selalu jujur setiap duduk di depan laptop-ku.
Bukan…bukan maksudku aku harus menulis non-fiksi. Fiksi adalah sederet
kebohongan. Tapi biarlah fiksi-ku memiliki kebenarannya sendiri.
Saat karakter tokoh dalam tulisanku berbicara, bantu aku untuk
mendengarnya dan menuliskan apa yang kudengar itu. Biarkan aku
menggambarkannya, bukan dengan kalimat yang kukutip dari buku-buku lain,
tapi dari apa yang ada di benakku. Tolong Tuhan, jangan biarkan aku
menyepelekan pembacaku. Terkadang, hal ini justu menjadi godaan bagiku.
Jika aku tak bisa menulis novel remaja tanpa menggurui, lebih baik aku
tak menulis novel jenis ini. Jika aku anggap kisah gothik, misteri, dan
koboi adalah sampah dan pembacanya adalah idiot, maka aku tak akan
menghasilkan suatu tulisan yang baik dan mendapat kepuasan dari tulisan
seperti ini. Biarlah aku menulis sesuatu yang kuhargai, dan biarlah aku
menghargai orang-orang yang nantinya akan menjadi pembacaku.
Tuhan, biarlah sebuah kamus selalu berada di dekat-dekatku. Saat aku
tidak yakin akan penulisan sebuah kata, aku akan membuka kamus. Begitu
pun jika aku tak yakin akan arti sebuah kata, bantu aku agar tidak malas
membuka kamus. Memeriksa penulisan dan definisi sebuah kata membutuhkan
kerendahan hati, Tuhan. Kerendahan hati membuatku terjaga. Saat
kerendahan hatiku dalam kondisi yang baik, setiap kesuksesan dan
kegagalan yang datang akan lebih gampang kuterima. Aku dapat menyadari
bahwa tulisanku tak akan pernah sempurna, dan kesempurnaan bukanlah
tujuan utamaku. Yang bisa kulakukan adalah menulis sebaik mungkin.
Aku bisa begitu keras terhadap diriku sendiri, Tuhan. Jika aku
menghasilkan tulisan 5 halaman setiap hari, lalu aku berkata pada diriku
bahwa aku bisa menambahkannya hingga mencapi 6, 8, atau 10 halaman.
Jika aku menulis suatu peristiwa tanpa mencari elemen utamanya, aku
menuduh diriku sebagai orang yang ceroboh; jika aku melakukan riset, aku
menyalahkan diriku telah membuang waktu yang bisa kupakai untuk
merampungkan naskahku. Jika aku menulis ulang, aku menyebutnya
percuma—cuma buang waktu. Jika aku tidak menulis ulang aku menyebut
diriku pemalas. Penyiksaan diri semacam ini tidak produktif. Beri aku,
Tuhan, keberanian untuk melalui hidupku tanpa hal-hal itu.
Bantu aku, Tuhan, untuk menjadi penulis yang bertumbuh. Ada banyak
kesempatan untuk mencapai hal ini, untuk memperoleh keahlian dan
pengetahuan dengan berlatih dan membuka mataku lebar-lebar. Setiap buku
yang kubaca akan memberikan sebuah pelajaran jika aku mau menerimanya
dengan lapang dada. Jika aku membaca tulisan yang lebih baik dari
karyaku, biarlah aku dapat belajar darinya. Jika aku membaca karya tulis
yang begitu buruk, baiklah aku belajar dari kekurangannya. Berikan aku
keberanian untuk mengambil resiko. Ada satu titik di masa awal karir
kepenulisanku, dimana aku menghasilkan tulisan tak bermutu, tulisan yang
tak menantangku, tulisan yang tak lagi dapat kuhargai, tulisan yang tak
lagi dapat membuatku bertumbuh. Aku melakukannya karena rasa takut. Aku
takut mengambil resiko, baik secara ekonomi dan artistik, aku takut
menghasilkan tulisan yang tidak akan diterbitkan. Aku hanya dapat
bertumbuh jika aku rela mengembangkan diriku, mengambil resiko.
Terkadang aku gagal, tentu saja, tapi bantu aku untuk selalu ingat bahwa
aku selalu dapat belajar dari kegagalan itu, yang akan memberikan
keuntungan bagiku dalam jangka panjang. Dan jika aku mengambil resiko
dan ternyata gagal lagi, biarlah aku tetap ingat agar pada akhirnya
memoriku dapat meringankan rasa sakit akan kegagalan itu.
Bantu aku untuk membuka diri pada pengalaman, Tuhan. Ada saatnya Tuhan,
kala sebutir pil hijau di pagi hari bisa meningkatkan energi dan
semangat menulisku. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku hanya meminjam
energiku untuk esok hari, sehingga tengaku terkuras habis. Ada kalanya
juga, saat pil-pil dan minuman berenergi itu menyempitkan pandanganku
seperti seekor kuda yang ditutup matanya. Aku pikir aku membutuhkan hal
itu untuk menulis, Tuhan, tapi kemudian aku sadar bahwa aku dapat
menulis lebih baik tanpa bantuan benda-benda itu.
Beritau aku juga, kapan tanggung jawabku sebagai penulis berawal dan
berakhir. Bantu aku untuk berkonsentrasi pada segala hal dalam karirku
yang dapat kukendalikan dan melepaskan hal-hal yang berada di luar
kendaliku. Setelah aku mengirimkan naskahku pada penerbit, biarlah aku
melupakannya hingga naskah itu sampai pada tujuannya. Mampukan aku untuk
mengambil langkah sepantasnya, Tuhan, tanpa harus menghabiskan energiku
untuk mencemaskan nasib naskahku. Tugas utamaku adalah menulis. Tugas
keduaku adalah menawarkan tulisanku. Apa yang terjadi setelah itu adalah
urusan orang lain. Jangan biarkan aku lupa, Tuhan, bahwa penerimaan dan
penolakan bukanlah segalanya. Imbalan utama dari setiap kerja seni
adalah pekerjaan itu sendiri. Sukses ada dalam setiap proses, bukan
dalam hasilnya. Jika aku menulis dengan baik, aku adalah seorang yang
sukses. Kemakmuran dan ketenaran mungkin saja menyenangkan tapi bukan
menjadi hal utama. Biarkan aku merasakan penolakan sebagai sebuah proses
untuk mendapatkan pengakuan. Biarkan aku menerima kebuntuan sebagai
sebuah proses kreatif. Pada akhirnya, Tuhan, bantu aku untuk dapat
menerima hal-hal di luar kendaliku. Dan bantu aku untuk senantiasa
mengucap syukur, Tuhan, bahwa aku adalah seorang penulis, bahwa aku
melakukan pekerjaan yang begitu kucintai, dan aku tak membutuhkan ijin
siapa pun untuk melakukannya. Terima kasih untuk semuanya. Dan terima
kasih telah mendengarkanku.
[share from Ernita Die tj's note "Doa Seorang Penulis")
Tulisan ini
diposting pada bulan Januari 2011 di blog sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna