Senin, 11 Januari 2016
Ketika Cinta Dirahasiakan
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut agar bukan cinta yang mengendalikan diri kita, tetapi diri kita yang mengendalikan cinta. Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut di sekitar kita saat ini. Walaupun bukan tidak ada. Barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan. Subhanallah…
Tapi, kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh. Kekurangan teladan? Mungkin..
Inilah fragmen dari khalifah ke-4, suami dari putri kesayangan Rasulullah tentang membingkai perasaan dan bertanggung jawab akan perasaan tersebut. Kisah di bawah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, buah pena Ustadz Salim A.Fillah. Chapter aslinya berjudul “Mencintai Sejantan Ali”
Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang juga sepupunya itu, sungguh mempesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berdakwah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Mekah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar ; Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan. Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak.
Dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar..”Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar melakukannya.
Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi. Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang Umar di balik bukit ini!” Umar adalah lelaki pemberani.
Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. Umar jauh lebih layak.
Dan Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian.
Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin. ”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian. Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda” Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan di sini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu. Perasaan yang insya Allah akan indah ketika waktunya tiba.
***
" Jika belum siap, cintai ia dalam diam"
Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam..
Karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya..
Kau ingin memuliakan dia..dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang,
Kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya..
Karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu
Menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu..
Karena diammu bukti kesetiaanmu padanya..
Karena mungkin juga..orang yang kamu cintai adalah juga orang yang telah Allah SWT pilihkan untukmu..
Ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan Ali? Yang keduanya saling memendam apa yg mereka rasakan...Tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah.
Karena dalam diammu tersimpan kekuatan..
Kekuatan harapan.. Hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga “cintamu yang diam” itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata..
Bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap pada-Nya?
Dan jika “cinta dalam diammu” itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam..
Jika dia memang bukan milikmu, Toh ALLAH.. melalui waktu akan menghapus “cinta dalam diammu” itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat..
Biarkan “cinta dalam diammu” itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu, menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu...
(sebuah kiriman dari seorang saudariku..)
Terinspirasi dari sebuah dialog kemarin siang. Buat seorang sahabat => Ukhti, yakinlah suatu saat kau akan mendapatkan yang TEPAT dan TERBAIK… untukmu… Untuk kita ^^v.
Jakarta, 20 Juli 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Juli 2010 di blog sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna