“Oh, burungpun bernyanyi melepas segala rindu yang terendam malu di balik qalbu..
Oh, anginpun menari mencari arti, adakah ini fitrah ataukah hiasan nafsu.
Di dalam sunyi ia selalu hadir, di dalam sendiri ia selalu menyindir.
Kadang meronta bersama air mata, seolah tak kuasa menahan duka…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)
Kalau disuruh memilih, aku tak ingin kisah ini ada. Tapi, Allah berkehendak lain. Dia menuntunku menjadi seorang tokoh sentral yang harus melakoni kisah ini. Allah memang sudah berjanji, bahwasanya Dia tidak akan menguji hamba-hambaNya di luar batas kemampuan. Pun demikian dengan rasa ini yang aku anggap sebagai ujian dari-Nya. Berawal dari sebuah interaksi yang tak disengaja dengan Kak Edo. Awalnya, kami saling berdiskusi masalah novel. Kami memang penyuka sastra. Namaku Dira, saat ini aku tengah belajar menjadi seorang novelis. Aku banyak belajar tentang dunia menulis dari Kak Edo.
Setelah tiga bulan berkomunikasi, akhirnya kami bertemu. Sebuah pertemuan yang singkat, karena Kak Edo hanya mengambil novel milikku yang ingin dipinjamnya. Hanya beberapa kalimat yang berhasil ia sampaikan. Dalam posisi saling menunduk, kami tidak bisa mengetahui suasana hati masing-masing. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang berbeda setelah pertemuan singkat itu. Terlebih pada diriku.
“Biarlah semua mengalir,
berikanlah kepada ikhtiar
Dan sabar untuk mengejar…”
(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)
Mencoba menjaga jarak, ternyata masih ada saja komunikasi yang harus terkuak. Entah saling komentar di status facebook, chatting via YM, dan lain sebagainya. Sempat terselip impian ingin berkolaborasi tulisan dengannya. Hingga suatu ketika, kesempatan itu datang. Sebuah kompetisi cerita mini yang akan dibukukan. Tanpa berkomunikasi sebelumnya, ada nama kami yang sama-sama menjadi nominatornya. Saat pengumuman tiba, aku hanya bisa gigit jari ketika tahu hanya namanya yang lolos. Ada rasa sedih juga karena ternyata kesempatan melahirkan karya bersama belum datang. Harus kuakui, Kak Edo memang penulis yang berbakat. Tulisannya sangat menyentuh hati. Itulah yang membuatku simpati.
“Sabarlah menunggu, janji Allah kan pasti
Hadir tuk datang menjemput hatimu
Sabarlah menanti, usahlah ragu
Kekasih kan datang sesuai dengan iman di hati
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menunggu
Bila di dunia ia tiada, moga di surga ia telah menanti”(Menunggu di Sayup Rindu – Al Maidany)
Salah! Jika sesuatu yang fitrah ini ternyata hanya hiasan nafsu! Aku tersadar! Allah menegurku lewat “kegagalan” masuknya tulisanku dalam kompetisi itu. Karena ada selipan asa, bahwa aku ingin menyandingkan karyaku dengan karya Kak Edo. Aku menangis dalam samudera penyesalan. Aku tak ingin kisah ini diteruskan. Hingga datanglah hari itu, suatu hari di mana aku bertemu Kak Edo untuk yang kedua kalinya. Kali ini kita berada dalam sebuah acara. Pada acara itu, Kak Edo ingin mengembalikan novel yang dipinjamnya.
Pertemuan kedua yang lebih singkat dari pertemuan sebelumnya. Rasa-rasanya ingin cepat kabur saat harus berhadapan dengan Kak Edo. Sepulang dari acara, aku buka tas berisi novel yang dipinjamnya, ternyata ada sebuah bungkusan lain yang ternyata “hadiah” darinya. Bahagia, tapi terselip perih dalam rintihan yang lirih. Rabb, aku ingin menghentikan rasa ini. Cukup!!! Setelah pertemuan itu, harapku tak ada interaksi lagi dengan Kak Edo.
Di langit senja ini, garis-garis lembayung bagai permadani tak bertepi.
Lambaian tangan itu berselimut kabut dan menjelma menjadi sungai yang mengalir deras menuju muara
Melibas segala keraguan!!!
Aku kembali pulang ke samudera cinta-Nya
~Maaf, kata untuk akhir sebuah kisah~
Maaf ya Kak Edo, jika selama ini aku salah menangkap interaksi kita. Mungkin Kak Edo menganggap ini sebagai interaksi yang biasa, seperti layaknya kakak dan adik. Maaf, jika aku menanggapinya lain.
Kau tahu tentang hatiku yang tak pernah bisa melupakanmu
Kau tahu tentang diriku yang selalu mengenangmu selamanya
Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Maafkanlah segala khilaf yang tlah kita terlewati
Tlah membawamu kedalam jalan yang melupakan Tuhan
Kita memang harus berpisah
Tuk menjaga diri
Untuk kembali mengarungi hidup
Dalam ridho Ilahi
Kutahu bahwa dirimu
Mendambakan kasih suci yang sejati
Kuyakin bahwa dirimu
Merindukan kasih sayang yang hakiki
Kini kusadari bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai
Dan bila takdirnya kita bersama
Pastilah Allah akan menyatukan kita
(Maaf Tuk Berpisah – Tashiru)
Jakarta, 19 Oktober 2010
Aisya Avicenna
Tulisan ini diposting pada bulan Oktober 2010 di blog sebelumnya
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna