Bunda Nafsiah (foto diambil dari album Kang Taufan E. Prast) |
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Tlh mninggal dunia ibunya Mas Taufan. Tlg kabarin tmen2 yang laen (info by Yusi)"
Sebuah SMS dari Mbak Iecha yang saya terima pukul 19:45:52 tepat saat saya sampai di kost sepulang dari kantor. Membuat saya kaget dan terduduk lemas.
***
innalillahi wa inna ilaihi roji‘un. Semoga Allah menerima segala amalan beliau dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan keikhlasan. aamiin
***
Pertemuan perdana dengan Bunda saat saya dan beberapa rekan FLP Jakarta bertandang ke rumah beliau setelah lebaran. Masih teringat jelas, senyum merekah beliau menyambut kedatangan kami dan bercerita tentang siapa saja keluarga yang juga hadir saat itu. Pertemuan kedua saat beliau terbaring sakit di rumah. Setelah acara Studium General FLP Jakarta angkatan 15, saya dan teman-teman langsung menjenguk beliau. Senyum tersungging manis saat kami semua mengelilingi beliau yang terbaring. Beliau begitu bersemangat saat berkisah tentang pengajian yang beliau rintis. Subhanallah...
Pertemuan ketiga saat saya dan beberapa teman FLP Jakarta menengok beliau di RS Omni. Saat masuk ruang ICU, saya melihat beliau terbujur lemah dengan beragam selang dan ventilator. Beliau sempat menatap saya dan menggenggam erat tangan saya...
Kini, beliau sudah tiada... meskipun begitu, berkesempatan mengenal beliau adalah salah satu anugerah terindah dari Allah Swt yang diberikan kepada saya....
***
Membaca postingan dari Mbak Yusi pagi ini, membuat saya menitikkan air mata di Kopaja 502 saat perjalanan ke kantor.
Terimakasih atas nama Taufan E. Prast, Erawati Heru dan Keluarga
by Yusi Rahmaniar on Thursday, February 24, 2011 at 11:39pm
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada keluarga besar FLP DKI Jakarta, rekan-rekan, dan handai taulan. Ibu Nafsiah, ibunda dari kang Taufan telah berpulang kepada pemilik kita pada hari kamis pukul 18.31, tepat setelah kami menunaikan shalat maghrib. Ibunda sudah menjalani hampir tiga bulan proses sakit, 21 hari dalam perawatan intensif dan akhirnya Allah memintanya untuk Pulang. Ibu menghembuskan nafas terakhir dengan mudah, hanya sesak beberapa saat saja.
Bulan yang panjang dan penuh perjuangan ini terasa sangat bermakna dengan kehadiran teman-teman di sisi keluarga, memberikan kekuatan moril yang tidak mungkin kami beli dengan uang.
Tak berlebihan ketika ada pepatah bilang bahwa sahabat adalah orang yang ada disamping kita saat suka dan duka.Dan rupanya kita telah lulus dengan predikat cum laude sebagai sahabat, bahkan keluarga.
Mohon Ibunda dapat dimaafkan segala kesalahannya, didoakan kelapangan jalannya, dimudahkan segala urusannya kelak.
***
COPY PASTE CATATAN KANG TAUFAN TENTANG SANG IBU
Seribu Pesan Tak Cukup (1)
by Taufan E. Prast on Tuesday, February 8, 2011 at 1:47pm
Jangan lelah berbuat baik…
“Emaknya udah susah, anaknya jangan sampe…” kata-katanya meledak bagai petasan cabe. Meletus begitu saja. Aku yang mendengarnya seperti tersengat. Walaupun kalimat itu bukan untukku. Tapi ruang makan tak tersekat dengan sumber suara itu...
Yup, itu suara ibuku.
Dia menasihati Bu Bejo, salah satu orang dekat keluargaku. Pernah membantu di rumah beberapa waktu lamanya. Kepada ibu, hampir tak ada rahasia Bu Bejo yang terhijab. Karena tahu persis, ibu mempunyai argumen sendiri bagaimana ’mendidik’ dan ’membuka’ perspektif berpikir ibu tiga anak itu.
”Udah, sekolah... suruh sekolah!” lanjut ibu.
Saminem begitu nama asli Bu Bejo, janda dengan tiga anak kecil ketika suaminya meninggal. Tentu terasa berat hidupnya, dengan kebisaan yang terbatas. Menjadi pembantu rumah tangga saja. Dan ketika semua orang hanya selesai perhatiannya sampai liang lahat Pak Bejo ditutup tanah merah dan ditabur air melati serta bunga. Ibu justru baru memulai...
”Anakmu harus sekolah...” singkat!
”Kamu kerja yang bener...” singkat!
Dan waktu bergerak. Dua kalimat singkat itu adalah penguat bagi Bu Bejo dan motivasi buat anak-anaknya masih kecil. Sisanya... adalah ladang amal ibu yang sulit digambarkan. Sebuah tindakan yang tak lagi pakai kata-kata. Hanya eksekusi demi eksekusi... tanpa lelah, tanpa pamrih.
Dan ketika ibu tergolek di rumah sakit, salah satu anak Bu Bejo sudah bekerja di rumah sakit tempat ibu di rawat. Di sela-sela pekerjaannya, dia menengok, memijiti, atau malah menyediakan air hangat untukku yang menunggu...
Sungguh, ada waktu memetik...
Subhanallah...
***
Seribu Pesan tak Cukup (2)
by Taufan E. Prast on Thursday, February 24, 2011 at 12:35pm
Jangan culas!
Konon setiap kali keluarga besar ibuku berkumpul di waktu kecil dulu, ibu sering memerhatikan satu persatu tingkah laku keponakannya. Memang tampaknya sepintas lalu, tapi beliau sebetulnya sedang merekam beberapa perilaku para keponakannya yang banyak itu ketika bermain denganku.
”Nanti kalau habis main diberesin lagi ya…” pesannya.
Alhasil, setelah puas bermain… tentu dengan koleksi mainanku, mereka akan meninggalkannya dalam keadaan berantakan. Dan akulah yang akan membereskannya. Tetap dengan tenang, dan mungkin masih tersisa rasa senang. Entahlah, apakah elan berbagi waktu itu sudah mulai sublim dalam diriku... aku tak tahu.
Dan ketika selesai membereskan mainan... sering kali koleksi mainanku itu tercecer. Kurang komplit, ada bagian yang hilang... Maka aku pun akan mencarinya sampai ketemu hingga kolong dan tempat tersembunyi lainnya. Selalu demikian, tidak sekali dua kali. Kadang ketemu, kadang nggak ketemu...
Sedih? Tentu saya sedih...
Menangis? Beberapa kali saya menangis. Terutama bila mainan itu adalah mainan kesukaanku. Tentu aku masih kecil waktu itu. Paling menyedihkan adalah manakala mainan itu bukan saja tidak komplit, tapi hilang...
Hilang itu bisa berarti diambil dengan tenang dan riang gembira. Tapi mengambilnya diam-diam, tanpa pernah ada kalimat untuk meminta. Bahasa lainnya adalah mengambil milik orang lain dengan sengaja tanpa seizin pemiliknya. Masih banyak padanan lain dari perilaku tidak terpuji seperti ini.
Ibuku memilih membawaku ke toko mainan lagi untuk memilih mainan sesukaku, atau bila tidak memungkinkan, ibuku akan membawakan mainan yang sama pada hari berikutnya.
”Biarin aja, nanti kamu dapat penggantinya yang lebih bagus...” kata ibu setiap kali aku kehilangan mainan atau barang kesukaanku. Nyatanya memang iya... ”Kamu nggak boleh begitu ya...” ujarnya lagi.
Aku terus mengingat kalimat ini sampai hari ini. Kalimat yang sudah terucap puluhan tahun silam. Saat ibu masih sehat, segar, dan tak ada slang ventilator di mulutnya yang mulia itu...
Tulisan ini diposting pada bulan Februari 2011 di blog sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna