Ahad pagi, saat hendak pergi, saya lihat bu RT sedang membeli jamu. Bukan jamu yang digendong seperti penjual jamu pada umumnya. Ibu penjual jamu ini naik motor. Keren, ya? Penjual jamu zaman now! . 🎒
.
Saya ikut bergabung membeli jamu dengan Bu RT. Saya pun kepo pada si penjual. "Bu, aslinya dari mana?" Beliau antusias menjawab, "Dari Tawangsari, Sukoharjo." Saya sumringah, "Wah, deketan dong sama saya. Saya dari Wonogiri. Sekarang tinggal di mana, Bu?" "Di warung bakso depan komplek itu lho, Teh. Yang jual bakso itu suami saya," jawab si Ibu. "Ibu dah berapa lama tinggal di Bogor?" tanya saya lagi. "Sudah lama, Teh. 22 tahun," jawab si Ibu sambil menyodorkan jamu pahit campur pesanan saya.
Bakso depan komplek yang notabene milik suami ibu penjual jamu 'nyentrik' itu sangat laris dan memang terkenal enak. Bahkan tempat dagangnya sangat 'wow'. Perjalanan mereka selama 22 tahun merantau sampai detik ini tentunya penuh dengan kerja keras.
Pada hakikatnya, bukan berapa lama kita merantau, bukan berapa pundi rupiah yang telah berhasil kita dapatkan dan kumpulkan, tapi seberapa besar manfaat yang telah kita sebarkan pada sekitar. Baik di tempat perantauan kita maupun di tempat kelahiran yang kita tinggalkan.
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman.
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang.
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. ~ Imam Syafi'i
Saya tidak akan bertanya berapa lama sahabat merantau, tapi pertanyaan saya adalah : kalau beli jamu, suka beli jamu apa? ðŸ¤
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna