Saat pertama kali ta’aruf atau berkenalan dengan calon suami saya waktu itu, saya agak terkejut dengan nama “Lahat” ketika beliau menjawab dari mana asalnya. Lahat, jamak dari kita pasti terpikir liang lahat, kan ya? Ternyata Lahat adalah nama kabupaten di Sumatera Selatan. Coba intip di KBBI. Bahkan "liang lahat" itu yang baku penulisannya “liang lahad”, pakai huruf “d”. Ada yang baru tahu?
Sejak menikah dengan suami yang asli putra daerah Lahat,
kalau bahasa daerahnya jeme Lahat, saya dan suami memutuskan untuk mengubah
KTP dan KK dengan beralamatkan di Lahat. Pasalnya, waktu itu suami memang
bercita-cita akan kembali ke tanah kelahirannya. Sebagai istri, tentu saya
sangat mendukung apapun keputusannya, apalagi kalau demi orang tua.
Ternyata cita-cita suami untuk kembali ke Lahat, alhamdulillah terlaksana pada tahun 2023. Momentum yang semua serba tepat, atas izin Allah. Sejak 1 Januari 2023, saya dan suami resmi pindah dari
Bogor ke Lahat. Saya yang sudah bekerja selama 13 tahun di Jakarta, akhirnya
mengajukan mutasi ke daerah. Alhamdulillah, banyak hikmah dalam momentum pindah
ini. Mungkin akan saya ceritakan di lain waktu.
Berhubung sudah resmi berdomisili di Lahat, saya mencoba
membuat tulisan berseri yang khusus menceritakan tentang Lahat. Tulisan ini bertajuk
“Melihat Lahat”. Sebelum nanti menuliskan lebih banyak tentang Lahat, pada
tulisan perdana ini saya akan sedikit bercerita pengalaman pertama menjejakkan kaki di bumi Lahat.
Pertama kali datang di Lahat (Sumber: dok. pribadi) |
Dua bulan
setelah menikah, pada 15 Mei 2012, untuk kedua kalinya saya kembali menjejakkan
kaki di tanah Sumatra. Pengalaman pertama ke Sumatra yakni ke Padang pada November
2011.
Pada Mei itu, Saya
diajak suami ke rumahnya di Lahat untuk pertama kali. Waktu itu saya naik
pesawat dari Bandara Soekarno Hatta, sementara suami saat itu sedang ada di
Palembang untuk menyelesaikan studi. Sepekan setelah menikah kami memang
langsung LDR.
Pesona Bukit Jempol (Sumber: dok. pribadi) |
Singkat cerita,
akhirnya kami sampai di Lahat dengan mengendarai mobil. Untuk pertama kalinya
saya menginjakkan kaki di rumah mertua tercinta. Kami disambut dengan sangat
hangat. Suasana kota Lahat ternyata sangat mirip dengan suasana di Wonogiri.
Seolah saya tengah berada di kampung halaman sendiri. Oh iya saat masuk ke
Lahat, kita akan disambut oleh bukit yang bentuknya mirip ibu jari. Bukit ini
disebut Bukit Serelo tapi memang lebih dikenal dengan sebutan "Bukit
Jempol". Ada juga yang menamakannya "Bukit Telunjuk" ketika
dilihat dari sisi pandang yang lain.
Bukit Jempol
berlokasi sekitar 20 km dari pusat kota Lahat. Bukit dengan tinggi mencapi 900
meter di atas permukaan laut ini menjadi icon kota tempat suami saya
dilahirkan itu.
Selain Bukit
Jempol, di Lahat juga ada Sungai Lematang. Sungai ini mengalir dari kaki Gunung
Patah yang masuk dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan dan bermuara ke
Sungai Musi. Lahat menjadi salah satu kabupaten yang dilintasi sungai dengan
panjang sekitar 244 km ini.
Suami
bercerita bahwa masa kecilnya sering dihabiskan dengan bermain di Sungai
Lematang. Aktivitas sehari-hari penduduk di Lahat khususnya yang tinggal di
dekat Lematang juga sering dilakukan di sungai ini. Pada zaman dulu sungai ini
masih sering dilewati kapal, hanya saja karena terjadi pendangkalan sekarang
sudah tidak bisa dilewati lagi.
Lemang (Sumber: okezone.com) |
Oh iya, salah
satu kuliner khas di Lahat adalah lemang. Kesan pertama makan lemang: enak dan legit. Lemang
merupakan camilan di Lahat yang terbuat dari beras ketan dan dimasak dalam
seruas bambu setelah sebelumnya digulung dengan lembaran daun pisang.
Bambu berisi
beras ketan dicampur santan kelapa kemudian dimasukkan ke dalam seruas bambu
lalu dibakar sampai matang. Rasanya sangat enak dan legit. Lemang ini banyak
dijual di pinggir jalan tapi ada juga yang dijual keliling. Selain lemang isi
ketan ada juga lemang yang berisi ikan, mirip pepes kalau di Jawa. Hmm,
keduanya sangat nikmat disantap saat masih hangat. Apalagi jika sambil minum
kelapa muda (di Lahat disebut "dogan") di tepi sungai. Sangat nikmat!
Selain lemang, ada lagi kuliner khas
Lahat lainnya yakni sambal tempoyak. Kesan
pertama makan tempoyak: agak aneh rasanya. Ya, tempoyak berasal dari durian
yang difermentasi sehingga rasanya cukup unik.
Gulai tempoyak ikan masakan mertua (Sumber: dok. pribadi) |
Hmm, camilan dari Lahat lainnya yang saya cicip adalah lempok durian. Kesan pertama makan lempok: enak dan manis. Lempok
durian adalah dodol atau dalam bahasa Jawa disebut "jenang" yang
berasal dari durian. Rasanya manis
dan legit, tentu sangat berbeda dengan sambal tempoyak yang ada rasa asamnya.
Saat pertama
kali ke Lahat ini saya belum banyak mengunjungi tempat wisatanya karena lebih
banyak silaturahim ke rumah keluarga. Tapi lewat perjalanan pertama ke kota
kelahiran suami ini saya makin yakin bahwa jodoh itu akan bertemu pada waktu
yang tepat dan terbaik, sejauh
apapun jaraknya. Ibarat ikan di lautan dan sayuran di pegunungan, yang akhirnya
bisa bersua di warteg. Hehe, analoginya dibuat santai aja
ya!
Oke sahabat, nanti kita lanjutkan ya cerita tentang #MelihatLahat
yang lainnya. Tunggu tulisan saya selanjutnya.
Salam motivatrip,
Etika Aisya Avicenna
Ayuk bacaaa yaaa Tik
BalasHapusTerima kasih ayukku
Hapus