"Allah
selalu menyajikan skenario yang bisa kita lakoni karena skenario-Nya pasti
disesuaikan dengan kemampuan hamba-Nya. Dalam kisah yang satu ini, tentunya
Allah Maha Tahu kalau aku mampu menjalaninya. So, tak perlu ragu lagi.
Allah-lah pembuat skenario terbaik. Saatnya merangkai kisah ini dengan indah.
Keep optimist!!"
(Kopaja 502, 16:43, Etika Aisya Avicenna)
Status Facebook di atas kutulis awal tahun 2010 saat sudah resmi menjadi
pendatang baru di Jakarta. Bukan hal mudah beradaptasi di kota metropolitan
ini. Aku yang sebelumnya menjadi perantau juga di kota Solo selama 4 tahun,
kemudian melanjutkan petualangan menjadi anak rantau di ibukota yang macet dan
ramai, adalah tantangan tersendiri bagiku.
Kini waktu sudah pindah jauh ke kabupaten Lahat, tentu ada kenangan tak terlupa sebagai perantau yang pernah tinggal dan bekerja di ibukota Jakarta. Salah satu yang kukenang adalah saat-saat berpetualang menggunakan angkutan umumnya. Salah satunya Kopaja. Saat ini mungkin Kopaja sudah tergantikan dengan Metro Trans yang memang menjadi perubahan baik untuk transportasi di Jakarta. Namun, kenangan di masa lalu memang tak akan pernah tergantikan sih ya.
Awal kerja, aku ngekos di daerah
Otista. Berhubung agak jauh, aku naik angkutan umum. Terpilihlah Kopaja 502 sebagai
kendaraan yang akan kunaiki untuk pergi dan pulang ke kantor. Kopaja itu
kependekan dari Koperasi Angkutan Jakarta. Nah, Kopaja 502 ini jurusan Kampung
Melayu-Tanah Abang.
Beruntungnya, Kopaja 502 ini seringnya
mulai berjalan tidak jauh dari kos, jadi aku sering naik saat belum begitu
penuh. Kalau ternyata tidak ada di “pos awal”, aku naik angkot 06 dulu baru
turun di Terminal Kampung Melayu.
“Tanah Abang! Tanah Abang!” teriakan
kondektur Kopaja inilah yang selalu menjadi backsound-ku
tiap pagi sebelum berangkat ke kantor
Awal-awal naik Kopaja 502, aku cukup
syok, karena sering beradegan naik dan turun dalam kondisi kendaraan berwarna
putih dan hijau itu masih berjalan. Belum lagi ditambah sopir yang ugal-ugalan
alias ngebut. Semisal tidak dapat tempat duduk, aku harus memiliki pijakan kaki
dan pegangan yang kuat agar tidak oleng atau bahkan terpental.
Namun, seiring berjalannya waktu,
akhirnya aku mulai terbiasa dengan ritme perjalanan menggunakan Kopaja 502 ini.
Aku pun bisa take off dan landing dengan elegan. Bukan berarti aku
berbakat menjadi kondektur, tapi karena sudah menjadi hal yang biasa.
Kalau aku naik dari Terminal Kampung
Melayu, biasanya Kopaja 502 sudah penuh. Ketika ditawari kondekturnya,
seringkali kutolak karena kondisi di dalam Kopaja 502 itu sudah sesak dan harus
berdempetan. Biasanya aku memilih yang masih bisa duduk meskipun harus menunggu
agak lama karena Kopaja 502 ini harus berhenti alias ‘ngetem’ dahulu.
Saat Kopaja 502 itu masih ‘ngetem’,
aneka penjual asongan akan menghambur masuk untuk menawarkan dagangannya. Ada
pula pengamen dengan beragam aksinya yang berusaha menarik perhatian kami untuk
sekadar memberikan sekeping uang logam.
Apabila dapat duduk di Kopaja 502
itu, aku memanfaatkan waktu tunggu dengan membaca buku sampai di dekat kantor. Aku
cukup nyaman membaca di dalam kendaraan meski jalanan sering bergoyang
sekalipun. Terkadang, saat harus berdiri di dalam Kopaja 502 karena tidak
mendapatkan tempat duduk, aku tetap mengeluarkan buku untuk dibaca, asal
situasinya kondusif.
Aku selalu menyemangati diri sendiri,
“Kalau peganganmu erat, insya Allah
kau tak akan terjatuh. Kalau pijakanmu kuat, insya Allah kau tak akan tergelincir atau terpelanting.” Kupikir
Kopaja itu jarang ngerem 100% deh!
Waktu itu aku sering pulang kantor
setelah Magrib. Saat menunggu kedatangan Kopaja 502, sering sekali kudongakkan
kepala ke atas untuk menatap langit malam. Masya
Allah, ribuan bintang sering menyapa dengan kerlingan yang indah. Seolah
menghiburku yang dilanda kelelahan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan.
Semisal aku pulang sebelum Maghrib,
saat bagaskara senja akan pulang ke peraduannya, sering kubaca sebuah “novel
kehidupan” yang begitu luar biasa, seperti melihat pemulung botol bekas yang
kurus, sopir yang ugal-ugalan hingga hampir saling menabrak, pedagang asongan,
pengamen jalanan, dan lain sebagainya. Aku akan tenggelam dalam syukur di
sepanjang perjalanan itu karena tidak berada di posisi mereka. Harus
banyak-banyak bersyukur.
Ada satu kejadian tak terlupakan saat
naik Kopaja 502. Saat itu aku dapat duduk tapi agak di bagian tengah, sehingga
harus bergeser ke arah pintu keluar. Waktu itu kondisi sangat ramai alias penuh
sesak. Saat turun dari Kopaja, tiba-tiba ada seorang penumpang dari dalam
Kopaja mengeluarkan tangannya dari jendela dan berteriak, “Mbak, ini charger HP-nya tertinggal”
Aku pun menerimanya dengan penuh
heran. “Kok bisa ya charger HP-ku ada
di luar tas?”
Setelah kucek tasku, astaghfirullah... ternyata retsleting
tasku sudah berada di posisi tengah, sudah terbuka sekitar 15 cm. Aku agak
panik, langsung kubuka tas dan cek isinya. Innalillahi
wa inna ilaihi roji’uun. Aku dicopet!
Satu buah dompetku hilang. Dalam tas
tersebut aku memang membawa dua dompet. Dompet pertama berisi uang dan
kartu-kartu, sedangkan dompet satunya berisi modem dan 2 buah flash disk. Copet itu mengambil dompet
yang berisi modem dan flash disk.
Masih bersyukur yang diambil bukan dompet yang berisi uang dan kartu-kartu,
tapi tetap saja ada rasa sedih karena dalam flash
disk itu ada file naskah yang
sedang kutulis dan belum sempat dipindahkan. Hilang deh! Aku harus menulis
ulang.
Kejadian lain saat naik Kopaja 502
adalah ketika dalam perjalanan pulang. Setelah membayar ongkos ke sopir karena
waktu itu tidak ada kondekturnya, aku hendak turun tapi ada laki-laki mendekat
yang kupikir akan turun juga. Saat kakiku sudah mendarat alias sudah turun
sempurna dari Kopaja 502, aku baru sadar kalau laki-laki yang mendekatiku tadi
ternyata seorang pencopet. Innalillahi wa
inna ilaihi roji’uun.
Dia berhasil menggasak Blackberry kesayangan yang kubeli dari
hasil jerih payah menabung. Waktu itu aku masih CPNS jadi belum menerima gaji
secara penuh, jadi aku menabung untuk membeli HP itu.
Keesokan harinya kuceritakan kejadian
itu pada teman-teman di kantor. Pimpinan juga mengetahuinya. Selang beberapa
hari kemudian, pimpinan memanggilku ke ruangan beliau. Alhamdulillah, tiba-tiba beliau memberiku hadiah Blackberry seri baru.
Aku bersyukur dikelilingi orang yang
baik. Pimpinanku itu juga sangat baik. Beliau berujar saat menyerahkan hadiah
itu padaku, “Kamu kan masih anak kos dan CPNS juga, terima ini agar kamu tetap
bisa berkomunikasi dengan orang tuamu yang jauh di Wonogiri. Oleh karena itu,
jangan ditolak ya!” Aku sangat terharu dan bersyukur sekali.
Suatu hari aku juga pernah bertemu
dengan seorang kakek di Kopaja 502 saat berangkat ke kantor. Beliau
kebingungan. Ternyata beliau akan ke Kementerian Perdagangan. Kantorku!
Akhirnya kita turun Kopaja bareng.
Saat masuk gedung utama, beliau
menunjukkan kepadaku sebuah alat yang di sana tertulis berapa kali beliau sudah
berzikir. Angka yang tertera di tasbih digital itu membuatku takjub. Beliau
berujar, jumlah itu terhitung saat beliau keluar rumah. Masya Allah, luar biasa!
Sebelum kami berpisah, beliau
berkata, “Pertemuan dengan Mbak ini merupakan salah satu kemudahan yang
diberikan oleh Allah secara tak disangka, begitu banyak kemudahan yang sudah aku
dapatkan sejak dari rumah tadi sampai di kantor ini. Mbak, selalu berzikir ya karena
banyak sekali manfaatnya, termasuk mendapat banyak kemudahan dari Allah dalam
setiap urusan. Seperti yang sudah aku rasakan pagi ini.” Luar biasa! Aku
bersyukur bisa dipertemukan Allah dengan kakek itu.
Setelah menikah dan tinggal di
Matraman pada tahun 2014, aku sudah jarang naik Kopaja 502. Sebelum punya
motor, aku naik angkot 01 arah ke Terminal Pasar Senen, kemudian berganti naik
Kopaja 20 yang berhenti tepat di depan kantor.
Waktu itu ada pemandangan menarik
yang kulihat tiap hari saat naik Kopaja 20, yakni seorang kakek tua yang
berdiri di pinggir jalan sambil jualan kacang telur. Masya Allah, beliau menginspirasiku agar terus gigih dalam
berjuang.
Lagi-lagi aku terpekur dalam syukur,
betapa Allah sudah melimpahkan banyak nikmat dalam hidupku. Betapa Allah sering
mengirimkan “kode” lewat apa yang kulihat sehingga membuat diri ini tenggelam
dalam renungan dan rasa syukur atas setiap skenario yang telah Allah tetapkan.
Setiap tempat adalah ruang yang luas
untuk belajar dan “membaca” inspirasi kehidupan. Setiap orang yang kita temui
atau kita lihat adalah guru-guru yang kerap memberikan pelajaran tentang arti
kehidupan.
Banyak guru kehidupan yang kutemui
saat menempuh perjalanan menggunakan Kopaja. Ada musisi jalanan yang melantunkan nasyid
atau shalawat, ada pengemis yang hanya bermodal tangan yang menengadah, ada
deklamator yang lantang meneriakkan puisi-puisi sindiran, ada penjual asongan
yang gigih menawarkan dagangan, ada pencopet yang siap-siap beroperasi menunggu
sasarannya lengah, dan masih banyak lagi.
Semuanya menjadi sarana bagi diri ini
untuk terus belajar “membaca buku
kehidupan” yang Allah takdirkan.
Kawan-kawan ada yang punya pengalaman seru waktu naik transportasi umum?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan meninggalkan komentar di blog ini ^___^. Mohon maaf komentarnya dimoderasi ya. Insya Allah komentar yang bukan spam akan dimunculkan. IG/Twitter : @aisyaavicenna