|
Sumber : http://www.olarv.com |
"Eh,
besok kantor lo wajib pakai kebaya nggak?"
"Iya
nih, tapi gue males ah. Apaan, nggak ada esensinya."
Itulah
sepintas obrolan dua orang muslimah yang tertangkap di telinga saya saat sedang
menunggu kereta sore tadi (20/4). Posisi bersebelahan membuat obrolan mereka
terdengar.
Hmm,
di kantor saya pun ada edaran untuk mengenakan kebaya di Hari Kartini dengan
tujuan untuk menggalakkan budaya nasional dan meningkatkan pemakaian
pakaian dalam negeri. Yap, tujuan yang sangat bagus.
Lain
cerita, beberapa ibu-ibu di kantor yang anaknya sudah sekolah baik TK sampai
SMA tengah diributkan dengan acara
"Kartinian" di sekolah anaknya. Anak-anak diharuskan memakai pakaian
adat atau aneka kostum dalam rangka peringatan Hari Kartini tersebut. Orang tua
kelabakan, tapi ya gimana lagi, sekali dalam setahun ini kok!
Nah,
apakah harus 'selalu demikian' acapkali tanggal 21 April datang? Sebenarnya apa
sih esensi dari hari Kartini?
Sejatinya Kartini adalah seorang yang benar-benar merindukan pemahaman
mendalam akan agama yang dianutnya yaitu Islam. Kartini memendam kegalauan luar
biasa saat mempelajari Islam. Ketika Kartini masih belia, beliau belajar
membaca Alquran, meski sayangnya tidak memahami apa yang dibacanya.
Kartini sangat ingin mengerti isi kandungan Alquran. Namun, waktu itu
Alquran tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun, termasuk bahasa Jawa
sekalipun. Bahkan Guru ngaji Kartini memarahinya karena dia bertanya
tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an lalu disuruh keluar ruangan. Sampai akhirnya
Kartini tidak mau lagi membaca Al-Qur’an. Menurutnya, mempelajari Alquran tanpa
memahami artinya adalah sesuatu yang tidak berguna.
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar
bertanggal 6 November 1899, Kartini menulis; “Mengenai agamaku, Islam, aku
harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya
dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam.
Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh
memahaminya? Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa
apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang
mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa
yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar
makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa
Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun
tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”
Kartini melanjutkan curhatnya dalam surat
bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Nyonya Abendanon, “Dan waktu itu aku
tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku
tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan
dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Jangan-jangan, guruku pun
tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan
mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak
boleh mengerti apa artinya.”
Kegalauan Kartini menemukan jawabnya tatkala
beliau bertemu dengan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (Kyai
Sholeh Darat) saat mengikuti pengajian di rumah pamannya yang menjadi Bupati di
Demak. Saat itu Kyai Sholeh Darat mengajarkan tafsir surat Al-Fatihah. Kartini
terkagum-kagum dengan uraian yang disampaikan Kyai Sholeh Darat karena selama ini
beliau gelap akan makna ayat-ayat suci Alquran yang diajarkan gurunya meski
sejatinya Kartini adalah sosok muslimah yang cerdas dan kritis.
Berikut percakapan Kartini dengan Kyai Sholeh
Darat: “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang
berilmu menyembunyikan ilmunya?”, Kartini membuka dialog dengan pertanyaan yang
menohok.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa
Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku
berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran.
Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak
punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati
ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Alquran
adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Pada saat itu pemerintah Belanda memang
melarang keras para Kyai menerjemahkan Alquran dalam Bahasa Jawa karena dikhawatirkan
akan membangkitkan jiwa pemberontakan penduduk pada para penjajah. Akhirnya Kyai
Sholeh berkeputusan untuk menerjemahkan Alquran dengan menggunakan bahasa Jawa
dan huruf arab pegon (gundul) yang tidak dikuasai Belanda. Terjemahan ini baru
sampai Surat Ibrahim karena Kyai Sholeh meninggal. Kitab tafsir dan terjemahan
Alquran ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara
dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada
R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang
Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “Selama ini
Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi
sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami.”
Dalam surat Kartini tanggal 27 Oktober 1902
kepada Nyonya Abendanon, beliau menulis, “Sudah lewat masanya, semula kami
mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan
kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu
menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal
yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak
menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa
kebarat-baratan.”
Dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol tanggal 21
Juli 1902, Kartini juga menulis “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra
Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat
rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”
Dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon
tanggal 1 Agustus 1903, beliau menulis “Ingin benar saya menggunakan gelar
tertinggi, yaitu Hamba Allah.”
Saat mempelajari Islam lewat Alquran terjemah
berbahasa Jawa itu, Kartini jatuh cinta dengan surat Al Baqarah ayat 257 yang
artinya “Allah SWT menegaskan: Allah pemimpin orang-orang yang beriman;
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir
pemimpinnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan.
Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” Kartini kagum
dengan kalimat “Minazh Zhulumaati ilan Nuur” (dari gelap kepada cahaya).
Kartini merasakan perubahan pada dirinya dari pemikiran yang masih tak
beraturan menjadi pemikiran yang cerah.
Dalam surat-suratnya sebelum meninggal, Kartini banyak mengulang
kalimat “Door Duisternis Tot Licht” dalam surat-suratnya sehingga Tuan
Abendanon mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikan kalimat tersebut
sebagai judul bukunya. Setelah Kartini wafat, kata “Door Duisternis Tot Licht”
diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” seperti yang kita kenal
sampai sekarang, padahal sejatinya itu berasal dari ayat Alquran yang mengandung
semangat seruan Islam yang mampu membawa manusia dari kegelapan (kejahiliyahan)
menuju tempat yang bercahaya (hidayah dan petunjuk Allah).
Beberapa inspirasi yang bisa kita jadikan
evaluasi diri dalam momentum hari Kartini ini antara lain:
1. Sejauh mana kita, sebagai muslimah, dalam mengenal Islam sebagai
agama dan mengamalkan ajarannya sesuai syariat.
2.
Bagaimana kita, sebagai muslimah, berinteraksi dengan Alquran
selaku pedoman hidup kita. Apakah kita sudah membaca dengan rutin, memahami,
hingga mengamalkan maknanya dalam kehidupan sehari-hari???
(Khususnya
untuk anggota Komunitas One Day One Juz, semoga istiqomah tak hanya sekadar
menuntaskan 1 (satu) juz per hari, tapi harus dibarengi juga dengan semangat
memahami dan mengamalkan maknanya.)
3. Bagaimana kita, sebagai muslimah, senantiasa memperkaya diri
dengan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan. Karena kita adalah madrasah
pertama bagi anak-anak kita, para generasi penerus peradaban.
4. Apa usaha kita, sebagai muslimah, untuk senantiasa istiqomah dalam kebaikan, berusaha untuk meninggalkan kejahiliyahan kita dan hijrah menjadi pribadi yang lebih baik.
Semoga cahaya inspirasi dari Kartini selalu berpendar mengiringi kita, muslimah yang terus bercita menjadi mar'atus shalihah :)
Selamat (memuhasabahi makna)
Hari Kartini!
Jakarta, 21 April 2016
Aisya Avicenna