Melanjutkan cerita sebelumnya tentang Kabupaten Lahat,
tempat tinggal saya sekarang yang juga merupakan kota kelahiran suami tercinta.
Tulisan kali ini saya ingin sedikit mengupas tentang sejarah Kabupaten Lahat.
Kabupaten yang beribukota di Kecamatan Lahat ini
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Lahat
berbatasan langsung dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Rawas di sebelah
utara. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Pagar Alam, Muara Enim, dan
Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Muara Enim, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Empat
Lawang.
Kabupaten Lahat sebelumnya
terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan induk yaitu Lahat, Kikim, Kota Agung, Jarai,
Tanjung Sakti, Pulau Pinang, dan Merapi. Namun, setelah terjadi pemekaran,
jumlah kecamatan di Kabupaten Lahat bertambah menjadi 24 kecamatan. Apa
saja itu? Kapan-kapan kita bahas ya! Banyak yang unik namanya.
Kabupaten yang dikenal dengan sebutan Bumi Seganti
Setungguan ini terdiri dari 24 kecamatan, 17 kelurahan, dan 360 desa dan
memiliki luas 4.361,33 km persegi.
Sejarah Kabupaten Lahat
Pada masa kesultanan Palembang sekitar tahun 1830 di Kabupaten Lahat telah ada marga. Marga-marga ini terbentuk dari suku-suku yang ada pada waktu itu seperti Lematang, Besemah, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi, dan Kikim. Marga merupakan pemerintahan bagi suku-suku. Marga tersebut menjadi cikal bakal adanya pemerintah di Kabupaten Lahat.
Saat
Inggris berkuasa di Indonesia, marga tetap ada. Pada masa kekuasaan Belanda
sesuai dengan kepentingannya pada waktu itu, pemerintahan di Kabupaten Lahat
dibagi dalam afdelling (keresidenan)
dan onder afdelling (kewedanan). Dari total 7 (tujuh) afdelling yang
terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, di Kabupaten Lahat terdapat 2 (dua)
afdelling yaitu afdelling Tebing Tinggi dengan 5 (lima) daerah onder afdelling,
dan afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, Kikim serta Besemah dengan
4 onder afdelling.
Bukit Jempol, icon Kabupaten Lahat (dok.pribadi) |
Dengan
kata lain, di Kabupaten Lahat terdapat 2 (dua) keresidenan waktu itu. Pada
tanggal 20 Mei 1869 afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, serta Besemah beribu
kota di Lahat dipimpin oleh PP Ducloux, dan posisi marga sebagai bagian dari
afdelling. Tanggal 20 Mei akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lahat
sesuai dengan Keputusan Gebernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No.
008/SK/1998 tanggal 6 Januari 1988.
Afdelling
yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda diubah namanya menjadi “sidokan” bersama
dengan masuknya tentara Jepang tahun 1942. Sidokan ini dipimpin oleh
orang pribumi atas penunjukan pemerintah militer Jepang dengan nama Gunco dan
Fuku Gunco.
Kekalahan
Jepang atas tentara sekutu pada 14 Agustus 1945 dan bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Kabupaten
Lahat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan
UU No. 22 Tahun 1948, Keppres No. 141 Tahun 1950, PP Pengganti UU No. 3 Tahun
1950 tanggal 14 Agustus 1950.
Kabupaten
Lahat dipimpin oleh R. Sukarta Marta Atmajaya, kemudian diganti oleh Surya
Winata dan Amaludin dan dengan PP No. 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat
II dalam Tingkat I provinsi Sumatera Selatan, sehingga Kabupaten Lahat resmi
sebagai Daerah Tingkat II hingga sekarang, dan diperkuat dengan UU No. 22 Tahun
1999 tentang Otonomi Daerah dan diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi
Kabupaten Lahat.
Sejarah terbentuknya
Kabupaten Lahat yang
dilansir situs resmi Pemkab Lahat, dilatarbelakangi
kehadiran Hindia Belanda di Sumatera Selatan, tepatnya pada tahun 1823. Saat
itu, Belanda mencoba mengambil alih kekuasaan Kesultanan Palembang yang
dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Kekuasaan Belanda semakin
menyebar ketika Sultan Palembang diasingkan ke Ternate.
Pemerintahan Belanda mulai
menyusuri wilayah Sumatera Selatan hingga ke bagian barat pada tahun 1825. Wilayah ini menjadi pusat kehidupan
Kabupaten Lahat. Pemerintah Belanda semakin gencar menjalankan aksinya.
Mereka kemudian
membuat strategi untuk menguasai Sumatera Selatan dengan membentuk Pemerintah
Tingkat Keresidenan
Palembang. Kepemimpinan jatuh ke tangan seorang residen dengan pusat ibu kota
di Palembang.
Kejayaan Belanda tersebut tidak sepenuhnya
diterima masyarakat Lahat. Pada masa itu, daerah yang menjadi kekuasaan Belanda
mendapat perlawanan hebat dari warga asli yang tidak mau dijajah. Mereka lantas
melakukan peperangan.
Peristiwa tersebut
dikenal sebagai perang Benteng Jati, Benteng Muntar Alam, dan Benteng Tebat
Serut. Alhasil, Belanda menerima perlawanan dari masyarakat Lahat dan berhasil
menduduki semua benteng. Otomatis masyarakat mengalami kekalahan.
Namun, hikmah dari adanya peperangan itu lahirlah
persatuan antara masyarakat Lahat yang mengalami kekalahan khususnya saat Perang
Benteng Jati. Kesepakatan terjadi dari masing-masing pemimpin suku untuk
mempertahankan persatuan daerah.
Adanya
kesepakatan tersebutmenjadi dasar
dibentuknya Hari Jadi Daerah Tingkat II Kabupaten Lahat pada 20 Mei 1869 sehingga tiap 20
Mei diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Lahat.
Semboyan Unik
Kalau Lahat memiliki semboyan
Seganti Setungguan, Kabupaten Muara Enim memiliki semboyan Serasan Sekundang, semboyan Sedulang Setudung di Kabupaten
Banyuasin, Saling
Keruani Sangi Kerawati di Kabupaten
Empat Lawang, Serasan
Sekate di Kabupaten
Musi Banyuasin, Beselang Serundingan di Kabupaten Musi Rawas Utara, Caram Seguguk di Kabupaten
Ogan Ilir Bende Seguguk, Seguguk
Serasan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sebimbing Sekundang di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Serasan Seandanan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Sebiduk Sehaluan di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Serepat Serasan di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sebiduk Semare di Kota Lubuklinggau, Besemah Kota Perjuangan di Kota Pagar Alam, Palembang
Djaja (EYD: Palembang Jaya) di Kota Palembang, dan Prabumulih
Jaya, Seinggok Sepemunyian di Kota Prabumulih.
Kalau di daerahmu semboyannya apa ini?
Referensi:
Salam Motivatrip,
Etika Aisya Avicenna