“Tidak mudah menjadi wanita yang sukses dalam berbisnis, apalagi dia
seorang muslimah”
Tagline Film “Bunda, Kisah Cinta
Dua Kodi” di atas memang tepat untuk menggambarkan
perjalanan hidup Tika (Acha Septriasa), seorang muslimah
tangguh dalam membangun bisnis
dan mempertahankan keharmonisan keluarga. Film
yang pernah dibuat versi
dokumenternya oleh sutradara muda Ali Budiyanto ini memang
terinspirasi oleh kisah nyata Bunda Tika Kartika, owner Keke Busana. Ali Budiyanto kembali didaulat Inspira Picture untuk menggarap film layar lebarnya bersama dengan Bobby Prasetyo.
"Yang paling layak untuk dicintai adalah cinta itu sendiri.
Yang paling layak untuk dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri.”
Itulah sepenggal kalimat yang Fahri (Fedi Nuril) sampaikan saat debat ilmiah tentang konflik di Timur Tengah yang berlangsung di Universitas Edinburg. Kalimat apik tersebut berasal dari pemikiran Syekh Badiuzzaman Said Nursi, seorang ulama Turki. Debat ini menjadi salah satu scene paling menarik bagi saya karena apa yang Fahri sampaikan mampu meluruskan pandangan tentang Islam bagi seluruh peserta yang hadir.
“Di manapun, kapanpun, gue akan kejar kebahagiaan hidup
gue.”
-Chrisye-
Itulah sepenggal kalimat penuh semangat dari Chrisye
(Vino G. Sebastian) kepada adik bungsunya, Vicky (Pasha Chrismansyah) saat ia
dan kawan-kawannya di Gipsy Band mendapat kesempatan untuk bermusik di Amerika.
Sayang, impian itu hampir pupus kala sang Ayah (Ray Sahetapi) dengan tegas
melarangnya. Menurut ayahnya, karir seorang musisi tidak bagus, apalagi musisi
di Indonesia tidak begitu dihargai.
Setelah film “Ketika Mas Gagah Pergi” berhasil menguras air mata penontonnya -termasuk saya- setahun lalu, serta membuat ratusan ribu pasang mata terinspirasi karenanya, kini kita akan kembali bersua dengan Mas Gagah (Hamas Syahid) dan Dek Manis Gita (Aquino Umar) dalam sekuel film KMGP berjudul “Duka Sedalam Cinta” (DSC) yang juga akan mempersilakan butiran bening air mata tumpah tak terkira.
"Setiap anak diberikan kelebihan dan kekurangan. Buat apa sombong kalau di antara kelebihan kita juga ada kekurangan."
Itulah salah satu pesan yang saya dapat saat sepekan lalu tepatnya pada hari Ahad (24/9) saat nonton bareng (nobar) film "Jembatan Pensil" di CGV Blitz, Dmall Depok bersama anak-anak yatim Depok yang digelar Institut Ibu Profesional (IIP) Depok bekerja sama dengan Komunitas Pecinta Film Islami (KOPFI). Sebelum memutuskan untuk nonton, saya melihat trailer filmnya. Duh, nonton trailernya aja dah bikin baper dan penasaran.
Film "Jembatan Pensil" bercerita tentang persahabatan lima orang anak, yakni Ondeng (Didi Mulya), Azka (Azka Marzuki), Yanti (Permata Jingga), Nia (Nayla D. Purnama), dan Inal (Angger Bayu). Ondeng memiliki keterbatasan mental, sementara Inal tuna netra. Tapi keterbatasan itu tidak menyurutkan ikatan persahabatan mereka. Meski sering kena bully dari Attar (Vickram Priyono), Ondeng dan keempat sahabatnya tidak menghiraukannya dan tetap bersikap baik pada Attar. Mereka bersekolah di SD Towea yang berada di tepi pantai.
Rumah Azka, Inal, Yanti, dan Nia jauh dari sekolah sehingga untuk sampai ke sekolah mereka harus berjalan kaki dan melewati jembatan yang rapuh. Sementara itu, Ondeng akan menunggu mereka di ujung jembatan sambil mengawasi mereka menyeberang dan memastikan semuanya selamat. Meskipun Ondeng memiliki keterbelakangan mental tetapi hatinya baik. Satu hal lagi, Ondeng juga pintar menggambar.
Kisah dimulai saat Pak Guru (Andi Bersama) mengabarkan ke para murid bahwa anaknya, Aida (Alisia Rininta) akan pulang dan membantunya mengajar. Anak-anak sangat antusias dengan hadirnya guru baru. Ondeng dan kawan-kawannya pun semakin semangat.
Keesokan harinya saat Aida datang dan turun tari kapal, tasnya jatuh ke laut. Ini menjadi awal pertemuannya dengan Gading (Kevin Julio). Gading membantu Aida mengambil tasnya. Aida yang kebingungan karena dia tidak mendapatkan mobil sewa yang bisa mengantarnya ke rumah, akhirnya Aida naik kapal nelayan milik Gading dan Bapaknya Ondeng.
Saat kapal merapat esok harinya, Ondeng telah berdiri di tepi dermaga menunggu Bapaknya. Ondeng melakukannya setiap hari karena dia sangat menyayangi Bapaknya, Ondeng takut kehilangan Bapaknya karena Sang Ibu sudah meninggal dunia. Setelah Ondeng bertemu Bapaknya dan ikut ke pasar ikan, ia pun berangkat naik mobil box. Aida ikut Ondeng. Aida ikut turun ketika tiba-tiba Ondeng turun dan berkata akan menjemput teman-temannya.
Aida terkejut saat menyaksikan Azka, Inal, Yanti, dan Nia harus menyeberangi jembatan rapuh dengan menggantung sepatu di pundak. Mereka tidak memakai sepatu saat ke sekolah agar sepatunya tetap awet. 😥😥😥
Kedekatan Gading dan Aida tidak disetujui Ibu Aida, Bu Farida (Meriam Belina). Bu Farida, yang notabene perajin songket, lebih memilih Arman (Agung Saga) karena dia memiliki peternakan sapi.
Meski begitu, Gading tetap membantu Aida termasuk saat mengajar. Kehadiran Aida memberi warna baru dalam kegiatan sekolah Ondeng dan kawan-kawannya. Aida, dibantu Gading, sering mengajak mereka belajar dari alam. Hingga suatu ketika, Aida menantang anak-anak untuk menuliskan mimpi mereka. Mimpi sederhana Ondeng adalah ingin membuatkan jembatan untuk keempat sahabatnya. Ondeng menggambar jembatan impiannya, yang ia namakan Jembatan Pensil. Ondeng pun menabung untuk mewujudkan impiannya. 😭😭😭
Ondeng sangat menyayangi Bapaknya. Pernah sang Bapak berkata bahwa cintanya seperti sebutir jagung, ditanam akan berkembang, dari sebutir menjadi puluhan kemudian berkembang jadi ratusan, ribuan, jutaan, milyaran bahkan sampai tak terhingga.
Ondeng sangat terpukul ketika suatu hari Bapaknya tenggelam dan meninggal dunia saat melaut. Gading meyakinkan Ondeng bahwa ia akan tetap menjaga Ondeng seperti keluarganya sendiri. Akhirnya Ondeng mau tinggal bersama Gading.
Suatu hari, saat Azka, Inal, Nia, dan Yanti menyeberang, jembatannya roboh sehingga mereka berempat jatuh ke sungai. Ondeng yang menunggu mereka di seberang jembatan langsung menyebur ke sungai dan menolong keempat temannya. Akhirnya mereka berlima terlambat datang ke sekolah. Saat itu sedang upacara. Dengan berlari mereka menuju sekolah, Ondeng menggendong Inal. Saat sampai, mereka langsung berdiri tegak dan hormat pada bendera karena saat itu memang sedang upacara, padahal seragam mereka basah kuyup. 😭😭😭
Masyaa Allah kisah perjuangan mereka sangat luar biasa. Film ini sangat cocok ditonton bersama keluarga, sangat direkomendasikan untuk ditonton keluarga. Para orang tua bisa mengajak anak-anaknya karena banyak pesan moral yang bisa diambil dari film ini dan insya Allah bisa memotivasi anak-anak untuk lebih bersemangat saat menuntut ilmu. Dalam film ini kita akan disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Banyak scene pemandangan indah seperti laut, pantai, dan juga goa-goa bersejarah yang belum banyak kita ketahui.
|
Sebelum dimulai, ngemil dulu bareng adik-adik |
Pada saat nobar ini juga dihadiri oleh Azka dan sang sutradara film (Hasto Broto). Pasca nonton, ada bagi-bagi doorprize dan foto bareng.
Oh iya, apakah Ondeng berhasil mewujudkan impiannya?
Ada satu perkataan inspiratif yang disampaikan Gading pada anak-anak, "Sebatang pensil kita bisa menuliskan apa saja di atas kertas. Hal baik maupun hal buruk. Meski tulisan itu bisa dihapus, tp kebaikan atau keburukan itu akan membekas. Demikian juga manusia, baik dan buruknya perbuatan pasti akan meninggalkan bekas di mata orang lain."
**
Malam hari setelah nobar, saya mengirim DM di IG Didi (@ondidimulya), pemeran Ondeng. Alhamdulillah, Didi menjawab beberapa pertanyaan saya dengan sangat ramah.
Ternyata film "Jembatan Pensil" ini adalah film keduanya, sebelumnya ia pernah membintangi film "23.59" pada tahun 2014 di bawah Rudi Soedjarwo.
Didi berujar bahwa semua scene dalam film ini sangat berkesan dan selain pemandangan alam di sana bikin kangen, kerja sama dengan kru dan masyarakat di sana juga baik semua menyambut dengan antusias yang positif.
Adegan yang paling membuat Didi selalu mengingatnya sampai sekarang adalah saat adegan yang mengharuskannya nyebur tenggelem di mana dia gak pintar berenang hanya bisa mengapung saja dan scene saat naik sampan, belajarnya dadakan langsung dengan nelayan lokal di sana tapi alhamdulillah berjalan lancar
Harapan Didi dengan adanya film Jembatan Pensil ini adalah yang pasti dapat diterima dengan baik bagi penikmat film di Indonesia dan bisa menginspirasi semua penonton lewat cerita dari film Jembatan Pensil ini, sekaligus supaya bisa membuka jalan bagi Didi untuk bisa berkarya lagi
Yuk, jangan lupa nonton film Jembatan Pensil!
Aisya Avicenna
#IbuProfesionalDepok
#kelasminatmenulisiipdepok
#nobariipdepok
#NHWtestimonifilmJembatanPensil
|
Poster Film "Bukan Cinta Malaikat" |
Saat pertama melihat trailer film yang digarap oleh
rumah produksi Ganesa Perkasa Films ini, saya langsung jatuh cinta. Pasalnya,
film ini mengambil latar di Mekah dan Madinah. Membaca sinopsis cerita juga
cukup menarik. Akhirnya saya dan suami yang sama-sama sangat merindukan untuk
kembali ke dua tanah suci itu, bertekad untuk melihat film bergenre drama
religi tersebut.
Stasiun Pekalongan. Itulah permulaan setting dari film ini. Berlanjut
diarahkan ke dalam kereta yang akan menuju Kediri, dan kisah itu pun
dimulai. Di dalam kereta itu, duduklah seorang muslimah cantik berjilbab
ungu yang sedang menangis. Selang berapa lama, masuklah sosok pemuda
berambut gondrong sebahu. Pemuda gondrong itu mencocokkan tiket dan
tempat duduknya di kereta itu, dan ternyata ia duduk bersebelahan dengan
muslimah itu.
Kehadiran pemuda gondrong itu mengejutkan sang muslimah. Buru-buru
pemuda itu mengatakan kalau ia adalah orang baik-baik, kebetulan ia
duduk di situ dan ia menawarkan kepada sang muslimah untuk memilih duduk
di dekat jendela atau tetap di tempatnya sekarang. Muslimah cantik itu
akhirnya bergeser. Sang pemuda meletakkan tasnya di bagasi atas kemudian
ia duduk di samping sang muslimah.
Saat kereta masih melaju, pemuda gondrong itu berpindah tempat di bangku
sebelah yang sudah kosong karena penumpangnya sudah turun. Baru
beberapa saat memejamkan mata, pemuda gondrong itu melihat seorang bapak
yang hendak mengambil tas milik sang muslimah. Si pemuda gondrong
langsung menghardik sang pencuri. Muslimah berjilbab ungu itu terbangun.
Tambah kaget ketika sebilah pisau terarah padanya.
Ya, pencuri itu mengancam akan menusuknya kalau pemuda gondrong itu berbuat macam-macam.
Terjadi perkelahian. Telapak tangan sang pemuda sempat terkena pisau.
Berdarah. Pencuri berhasil kabur. Muslimah itu segera membebat tangan
pemuda gondrong yang terluka dengan sapu tangannya. Pemuda gondrong itu
bercerita kalau ia akan nyantri di Pesantren Al-Furqon, Kediri yang
ternyata pesantren tersebut adalah milik ayah sang muslimah berjilbab
ungu. Subhanallah...
Sampailah mereka di Stasiun Kediri. Di pintu keluar, mereka saling
menyebutkan nama. Pemuda gobdrong itu bernama Syamsul Hadi (Dude
Herlino) dan sang muslimah berjilbab itu bernama Zidna Ilma atau Zizi
(Meyda Sefira). Zizi pulang ke Kediri karena mendapat kabar kalau
ayahnya meninggal dunia.
Kehidupan pesantren sangat dinikmati oleh Syamsul, sampai akhirnya ia
dituduh sebagai pencuri oleh sahabatnya sendiri, Burhan (Boy Hamzah).
Waktu itu, Syamsul dan Burhan hendak makan bersama, tapi dompet Burhan
ketinggalan di kamarnya dan ia meminta Syamsul untuk mengambilnya.
Syamsul akhirnya mengambil dompet Burhan di dalam almari, saat itu
ternyata teman-teman pesantren yang bertugas sebagai bagian keamanan
tengah berjaga di dalam kamar Burhan. Syamsul dituduh mencuri. Ia
diarak, dipukuli, dan dimasukkan ke dalam gudang. Hilangnya beberapa
uang di pesantren memang menimbulkan keresahan, sehingga saat Syamsul
ketahuan membuka almari Burhan dan mengambil dompetnya, anggapan mereka
Syamsul-lah pencuri yang tengah dicari selama ini.
Saat dimintai menjadi saksi, ternyata Burhan mangkir kalau dialah yang
menyuruh Syamsul mengambil dompetnya. Syamsul bersumpah bahwa dia bukan
pencurinya. Burhan juga bersumpah bahwa apa yang dikatakannya barusan
adalah benar. Padahal maksud Burhan, yang dikatakannya barusan adalah :
“Penjahat pasti akan melakukan segala cara untuk menutupi kejahatannya.”
(kalau yang sudah baca novelnya, pasti ngeh saat adegan ini).
Digundhuli. Itulah hukuman yang dijatuhkan pada Syamsul. Tak hanya itu,
Syamsul didepak dari pesantren. Ayahnya (El Manik) datang menjemput.
Marah-marah. Sampai di rumah, Syamsul masih dihujani kemarahan oleh sang
ayah dan kakak-kakaknya. Hanya ibu (Ninik L. Karim) dan adik
perempuannya, Nadia (Tsania Marwah) yang membela.
“Ya Allah, kalau keluarga sendiri sudah tidak percaya... Apa gunanya
hidup?” Begitulah kira-kira doa Syamsul dalam keterpurukannya. Keesokan
harinya Nadia menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan Syamsul. Syamsul
pergi dari rumah. Ibundanya syok. Tetapi, sang ayah membiarkannya.
Syamsul pun sampai di kota Semarang. Ia makan di pinggir jalan.. Pada adegan inilah lagu berikut terlantun manis...
Terhempas aku dalam fitnah
Yang mendera jiwa dan mencebik sukma
Tetapi ku tak tentu arah
Hingga sebekas menguntum langgaku
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
Ku berdiam dendam yang membara
Ku pasrahkan semua pada yang kuasa
Ku yakin tiada satu jua hentikan kuasa-Nya
Untuk mengubah segalanya
Dalam mihrab cinta ku regup firman-Nya
Terangi jalanku ku sujud pada-Nya
Dalam mihrab cinta prahara dan asa
Putus duka lara ku pasrah pada-Nya
(Rino – Prahara dan Asa)
Uang di dompet Syamsul tinggal beberapa ribu rupiah. Akhirnya, ia nekat
mencopet di dalam bus. Ketahuan. Ia dikejar-kejar penumpang dan beberapa
orang yang berada di sekitar lokasi. Syamsul dihajar dan diserahkan ke
kantor polisi. Ia menginap di hotel prodeo. Wajahnya menghias koran
lokal. Dan sampai jua di Pekalongan. Keluarganya membaca koran tersebut.
Sang ayah merutukinya. Ibunda dan Nadia masih belum percaya, karena
nama pencuri yang disebut dalam koran itu bukan Syamsul, tapi Burhan.
Di hotel prodeo itulah, Syamsul mendapatkan ‘petuah bijak’ dari dua
orang yang katanya ‘pencopet handal’. Salah satu dari mereka berkata,
“Kalau mau jadi pencopet itu mentalnya harus kuat. Terus, jangan
mencopet lebih dari dua kali pada hari yang sama.” Hihi, lucu banget
waktu bagian ini... Dalam mencopet juga ada ‘rumus’nya ternyata.
Nadia menjenguk Syamsul di penjara. Nadia masih tak percaya kalau
kakaknya benar-benar menjadi pencopet sekarang. Syamsul menjelaskan pada
Nadia kalau hal itu dilakukannya karena terpaksa. Atas permintaan
Syamsul, akhirnya Syamsul dibebaskan Nadia. Syamsul akhirnya menghirup
udara kebebasannya. Saat tengah asyik berjalan bersama Nadia, tiba-tiba
Syamsul berlari dan naik ke sebuah angkot, meninggalkan Nadia. Nadia
menangis dan terduduk di pinggir jalan. Dari pintu angkot, Syamsul
sempat berteriak menyuruh Nadia pulang saja.
Patung selamat datang... Ternyata Syamsul merantau ke Jakarta.. Pada adegan ini, lagunya Afgan terlantun...
Demi cinta ku pergi
Tinggalkanmu relakanmu
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati
Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga
Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa pada-Nya
Karena cinta ku ikhlaskan
Segalanya kepada-Nya
Untuk cinta tak pernah
Ku sesali saat ini
Ku alami ku lewati
Suatu saat ku kan kembali
Sungguh sebelum aku mati
Dalam mihrab cinta ku berdoa semoga
Suatu hari kau kan mengerti
Siapa yang paling mencintai
Dalam mihrab cinta ku berdoa padaNya
(Afgan – Dalam Mihrab Cinta)
Di ibukota, Syamsul tinggal di sebuah kontrakan kecil. Ia mencoba
melamar pekerjaan, tapi gagal dan gagal lagi. Akhirnya, terpaksa ia
mencopet. Uniknya, Syamsul mencatat identitas dan jumlah uang yang
dicopetnya pada sebuah buku khusus. Sampai akhirnya, ia juga menemukan
foto gadis yang dicopetnya (Silvy – Asmirandah) bersama Burhan (teman
pesantren yang memfitnahnya). Mengetahui hal itu, Syamsul pun memiliki
niat untuk “membongkar” rahasia Burhan pada Silvy.
Bermodal KTP Silvy, dengan mengenakan sepeda motor yang dipinjamnya,
Syamsul menuju perumahan elite. Saat mau memasuki lokasi perumahan,
Syamsul diduga sebagai ustadz (guru ngajinya Della) oleh satpam yang
menjaga. Ya, karena waktu itu Syamsul memang mengenakan peci putih dan
sangat santun.
Seharusnya, Syamsul akan ke rumah Silvy. Tapi ia memilih untuk
mengunjungi rumah si kecil Della. Tak disangka, Syamsul diterima sebagai
guru ngajinya Della. Tambah terkejut lagi, ternyata Silvy adalah guru
privat Matematikanya Della.
Sampai di sini, aku senyum-senyum sendiri. Yang satu jago matematika, yang satu jago ngaji... Hihihi... (dasar Thicko! –sensor-)
Silvy akhirnya tahu siapa Burhan sebenarnya. Ia menolak lamaran Burhan.
Burhan ternyata sudah dikeluarkan dari pesantren karena ternyata ia
adalah seorang pencuri dan dengan keji memfitnah Syamsul.
Syamsul bertaubat. Ia sungguh-sungguh berdoa pada Allah agar
mengampuninya. Kehidupan Syamsul berubah. Ia menjadi ustadz yang cukup
terpandang. Hasil copetannya ia pulangkan kepada pada pemiliknya via
pos. Tak lupa ia juga membelikan jilbab buat ibu dan Nadia. Pada Silvy,
Syamsul akhirnya mengaku kalau dialah yang mencuri dompetnya. Silvy
menangis saat mengetahuinya, tapi ibunya (Elma Theana) tetap menyukai
Syamsul dan mengharapkan Syamsul bisa menjadi menantunya.
Syamsul menjadi ustadz yang cukup dikenal. Ia masuk TV, keluarganya
melihatnya. Bahagia... bersyukur...Akhirnya, sang ibu dan adiknya
menemui Syamsul ke Jakarta. Zizi dan kakaknya (pimpinan pesantren) juga
turut serta. Saat itulah keluarga Silvy juga datang. Pada waktu Zizi
hendak pulang, tasnya ketinggalan di rumah Syamsul, saat itulah Zizi
mendengar penuturan Ayah dan ibu Silvy yang berniat menjadikan Syamsul
sebagai menantunya. Zizi patah hati...
Syamsul akhirnya akan menikah dengan Silvy. Beberapa hari sebelum hari
bahagia itu datang, Allah berkehendak lain. Silvy mengalami kecelakaan.
Ia meninggal. Syamsul sangat syok. Ayah Silvy (Izur Muchtar) sempat
meminta Syamsul menikahi jasadnya. Oh...
Syamsul kembali ke Pekalongan. Ia masih belum bisa melupakan Silvy.
Suatu hari Zizi datang dan membawakan oleh-oleh dari Kediri. Zizi turut
prihatin dengan kondisi Syamsul. Beberapa hari kemudian, kakak Zizi
datang untuk menyampaikan maaf sekaligus mengundang Syamsul untuk datang
ke pesantren di Kediri, selain itu juga meminta Syamsul bersedia
menikah dengan Zizi.
Akhirnya, Syamsul datang ke Kediri. Saat itu, Syamsul bilang.. “Saya
datang ke sini dengan dua misi...” Hihi, aku geli juga mendengar
penuturan Syamsul. Ya, misi pertama adalah silaturahim ke ‘mantan’
pesantren yang sempat mengeluarkannya. Dan misi kedua adalah untuk
melamar Zizi...
Happy Ending deh...
Film ini memang diadaptasi dari novel “Dalam Mihrab Cinta” karya
Habiburahman El-Shirazy (Kang Abik). Ada yang berbeda dengan film ini
dibanding film-film sebelumnya yang juga diadaptasi dari novel Kang Abik
(Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2). Pada film ini, tokoh
utama (Syamsul Hadi), tidak tercermin sebagai tokoh yang ‘sempurna’
(seperti Fahri dan Azzam). Film yang juga disutradarai Kang Abik ini
menampilkan kisah yang begitu bagus dan memang mencerminkan realitas
sosial di sekeliling kita. Nasihat yang ada dalam film ini juga
menyentuh sekali.
Beberapa hikmah yang bisa didapat dari film ini :
1. Tetap berkata jujur apapun keadaan kita. Meski kita difitnah,
yakinlah bahwa Allah Maha Tahu segalanya. “Becik ketitik olo ketoro”.
Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya.
2. Apa yang kita dapatkan adalah implikasi dari apa yang telah kita
berikan. Jika kita memberikan ‘kebaikan’, maka ‘kebaikan’ pulalah yang
kita dapatkan.
3. Saat kita sudah sukses, jangan melupakan orang-orang yang berada di balik kesuksesan kita, terlebih keluarga kita.
4. Tak hanya saat melakukan kesalahan, sebaiknya kita senantiasa memohon
ampunan pada Allah Swt. Karena bisa jadi saat kita menilai perbuatan
kita sudah baik (dalam pandangan kita), ternyata perbuatan itu tidak ada
nilainya di hadapan Allah. Istighfar, itulah salah satu obat hati.
5. Tentang jodoh, memang belum tentu seseorang yang ‘baru akan’ menikah
dengan kita, itu benar-benar jodoh yang dipilihkan Allah. Jodoh itu
misterius, hadirnya tak terduga. Semua sudah diatur-Nya sedemikian rupa.
Tidak akan datang terlambat atau terlampau cepat, jodoh kita akan
datang pada saat yang tepat!
6. “Karena sebaik-baik rencana, tetap rencana-Nya yang terbaik”.
Begitulah kata Syamsul Hadi dalam film itu. So, selalu positive thinking
yuk pada Allah...
7. Dll.... Bagi yang sudah nonton, silakan ditambahkan sendiri... ^^v
NB : Buat saudari-saudariku yang rebutan tissu saat menonton ini, jangan
lupa kisah kita hari itu ya...Semoga kita bisa mengambil hikmah dari
film ini (Kalibata, 24 Desember 2010)
Tak pernah terlintas di benakku
Saat pertama kita bertemu
Sesuatu yang indah
Tumbuh dalam gundah
Harum dan merekah
Tulus hatimu membuka mataku
Tegar jiwamu hapus raguku
Membuncah di hati
Harapan yang suci
Menyatukan janji
Bunga-bunga cinta indah bersemi
Di antara harap pinta pada-Nya
Tuhan tautkanlah cinta di hati
Berpadu indah
Dalam mihrab cinta...
(Asmirandah dan Dude Herlino – Bunga-Bunga Cinta)
Aisya Avicenna
Tulisan ini
diposting pada bulan Desember 2010 di blog sebelumnya
"Jika kita tidak setuju dengan suatu kebaikan yang belum kita pahami,
cobalah untuk bisa menghargainya."
Kalimat
yang dilontarkan Gagah (Hamas Syahid Izzuddin) dalam sebuah adegan di film “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) tersebut agaknya bisa menjadi renungan bagi kita
bersama, khususnya saya pribadi. Terkadang kita terburu menjudge
perubahan seseorang dengan opini subjektif yang mengarah pada prasangka buruk. Padahal
kita tak sepenuhnya tahu bahwa yang bersangkutan sedang berusaha untuk
memperbaiki dirinya. Mencoba selalu berbaik sangka (husnudzon) dan belajar menghargai sesuatu yang mungkin belum kita
pahami sebaiknya semakin ditumbuhkan dalam diri kita. Sepakat?
Itulah
salah satu inspirasi yang saya dapat setelah menonton film KMGP. Nyatanya, film
yang diadaptasi dari novel fenomenal berjudul sama karya Bunda Helvy Tiana Rosa
tersebut membuat semangat saya semakin meletup. Semangat untuk berhijrah menjadi
pribadi lebih baik lagi. Sesuai dengan hastag saya akhir-akhir ini :
#HijrahLebihBarokah dan #FromMOVEONtoMOVEUP.
Film KMGP bisa menjadi inspirasi bagi dakwah masa
kini. Meski kisah KMGP ditulis di era tahun 90-an, tapi film KMGP sendiri bisa
mengangkat kondisi kekinian di mana kedekatan dengan gadget dan beberapa dialog alay ala ABG gaul zaman sekarang juga mewarnai
film ini. Film KMGP menjadi inspirasi untuk berdakwah dengan gagah, santun dan
penuh keteladanan. Hal ini dicontohkan sosok Mas Gagah lewat sikapnya
menghadapi Ibunda (Wulan Guritno) dan adiknya Gita (Aquino Umar) yang sulit
menerima perubahannya, lewat kata-kata santun saat diejek sahabat lamanya,
lewat tindakan nyata saat membantu kegiatan sosial para preman yang pernah
mencoba berbuat jahat padanya.
Inspirasi dakwah juga ditunjukkan lewat peran Yudi
(Masaji Wijayanto) yang melakukan ceramah anti
mainstream di kendaraan umum. Adakah pegiat dakwah di zaman sekarang yang
mau dan tak malu melakukan hal itu? Pertentangan Yudi dengan Abahnya (Mathias
Muchus) yang tidak setuju dengan aksi dakwah Yudi yang ‘aneh’ tersebut
menjadikan pelajaran juga bagi kita bahwa tantangan dakwah memang sangat besar,
bahkan bisa berasal dari orang-orang terdekat. Pada zaman sekarang kita
dituntut untuk semakin kreatif dalam menebar kebaikan lewat berbagai media dan
beragam cara. Sesuai dengan Alquran dan Sunnah tentunya!
Sosok Mas Gagah bisa menjadi trendsetter bagi pemuda zaman sekarang. Cerdas dalam berilmu,
santun dalam berkata, tegas dalam bersikap, peduli pada sesama, dan cinta
Alquran. Pemeran Mas Gagah (Hamas) adalah seorang penghafal Alquran sesuai dengan
karakter yang diperankannya karena film KMGP memang berusaha totalitas untuk
menampilkan sosok Mas Gagah persis seperti dalam novelnya.
Film yang dibintangi oleh empat tokoh utama
pendatang baru yakni Hamas Syahid Izzuddin, Aquino Umar, Masaji Wijayanto, dan
Izzah Ajrina ini semakin memukau dengan dukungan akting Mathias Muchus, Wulan
Guritno, Epi Kusnandar, Nungki Kusumastuti, Ustadz Salim A. Fillah, Irfan Hakim,
Joshua, Virzha, Miranti de Marelle, dan lain-lain. Setidaknya ada 30-an artis
yang menjadi cameo dalam film ini. Saya sangat menikmati akting Aquino Umar
(Noy) yang begitu natural memerankan sosok Gita. Noy sangat totalitasi menjiwai perannya sebagai seorang adik dan ABG gaul yang sedang mencari jati diri. Adegan-adegan dan alur kisah dalam film ini bisa membuat penonton heran, tertawa, bahkan menangis. Apalagi saat "Rabbana" sebagai soundtrack dari film ini terlantun, emosi penonton akan semakin dipermainkan.
Saya juga sangat menyukai setting lokasi di
Ternate yang tersaji indah di film KMGP. Nuansa alam Ternate ditampilkan dengan
memesona. Serius, jadi ingin ke sana. Insya
Allah 50% keuntungan dari film KMGP ini akan didedikasikan sebagai program kemanusiaan,
di antaranya untuk pendidikan anak-anak di wilayah Indonesia Timur dan
Palestina. Film yang disutradari oleh Firmansyah (Kang Immank) ini juga menjadi
film pertama yang mengangkat Palestina. Pasti penasaran kan, mengapa dan kapan
Shireen Sungkar berteriak lantang, "Kita
tidak bisa hanya diam menyaksikan kebiadaban di Palestina!"
Sayangnya, teknik editing film masih kurang pas
karena saya menangkap ada adegan yang lompat. Ada juga adegan atau scene yang terlalu cepat berganti seperti saat Mas Gagah akan pergi ke Ternate, tiba-tiba sudah kembali lagi hanya berbeda penampilan (berganti baju dan berjenggot lebih tebal). Saya menjadi bertanya-tanya, "Mas Gagah di Ternate cepat amat, di sana ngapain saja ya?" Prolog
film (narasi yang disampaikan Gita di awal) terlalu panjang. Potongan scene di akhir film yang kemudian menunjukkan cuplikan adegan dan akhirnya film berakhir, juga terkesan mendadak sehingga saya sempat berujar, "Kok sudah selesai ya?" Meskipun begitu, akhir kisah sangat membuat saya penasaran karena
ternyata akan ada KMGP session 2. Ah,
wajib ditonton juga nih! Semoga segera tayang ya.
Setiap karya memang tak ada yang sempurna. Untuk sampai ke tahap
difilmkan seperti sekarang, KMGP butuh perjuangan yang luar biasa dan kita
semua patut untuk mengapresiasinya. Barakallahu khususnya untuk pendiri Forum Lingkar
Pena (FLP) sekaligus guru besar saya dalam menulis, Bunda Helvy Tiana Rosa.
Semoga kian banyak penulis FLP pada khususnya yang bisa mengikuti jejak juang
beliau dalam melahirkan karya luar biasa seperti KMGP. KMGP telah berhasil menjadi
film bernafaskan Islam pertama yang lahir dari patungan para pembaca yang telah
bertahun-tahun menantikan sang novel difilmkan. Apalagi KMGP menjadi film
pertama yang berani mengangkat tentang Palestina. Masya Allah, salut
untuk semua pihak yang telah berjamaah untuk mencipta film yang anti mainstream
seperti KMGP. Insya Allah film KMGP bisa menjadi jalan cinta dalam
menumbuhkan semangat dan inspirasi baru dalam berdakwah di era masa kini.
***
|
Serunya Gala Premiere Film KMGP di Plaza Senayan |
Jakarta, sehari setelah nonton Gala Premiere Film KMGP di Plaza Senayan..
Salam cinta,
Aisya Avicenna
~ Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Jakarta dan Divisi Penulis Komunitas One Day One Juz (ODOJ)